Waktu itu, saya memang masih berusia 9 tahun. Namun tekad saya untuk menjadi hakim konstitusi semakin bulat. Saat ayah Yamin pulang kerja, saya pun langsung menyambut beliau dan menyorakkan niat saya, "Ayah! Kalau sudah besar, eMKa mau kuliah hukum di Harvard!"
Sampai dengan usia 12 tahun, saya masih mengikuti perkembangan berita mengenai MKRI. Saya turut bangga atas prestasi yang diciptakannya. Di bawah kepemimpinan Dr. Hamdan Zoelva, S.H., M.H., MKRI rela melepaskan kewenangannya untuk menangani perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah. Alasannya, menurut konstitusi, pilkada bukan bagian dari rezim pemilu. Maka penanganan perselisihan hasil pilkada kemudian diserahkan kembali kepada pembuat undang-undang.
Beliau juga membentuk Dewan Etik Hakim Konstitusi. Tugasnya untuk menjaga martabat dan keluhuran hakim konstitusi. Tidak hanya itu. Beliau juga membangun Pusat Sejarah dan Dokumentasi Konstitusi, yang diresmikan pada bulan Desember 2014. Bahkan di kancah internasional, Ketua MK Republik Indonesia terpilih menjadi Presiden AACC (Association of ASEAN Constitutional Courts) periode 2014-2016.
Namun menjelang usia 17 tahun, saya berhenti memantau berita tentang MKRI! Bukan karena kesibukan bersekolah. Namun karena hati saya terluka. Ya. Saya patah hati. Patah semangat. Bahkan kemudian rasa cinta pun beralih menjadi rasa benci. Minimal sinis dan sangsi.
Masih terekam betul peristiwa di hari itu, 11 April 2017. Hakim konstitusi Dr. H. Patrialis Akbar, S.H., M.H., diberhentikan tidak dengan hormat. Ia terlibat kasus suap terkait dengan penanganan perkara pengujian undang-undang mengenai peternakan dan kesehatan hewan.
Masih pada hari yang sama. Ayah Yamin menyusul almarhum ibunda. Meninggalkan saya di dunia ini... sebatang kara....
Dalam satu hari, saya kehilangan dua sosok pemimpin. Kehilangan yang dalam! Kehilangan ayah Yamin. Kehilangan inspirasi dari hakim konstitusi. Keduanya pergi nun jauh. Satu terbang ke angkasa. Satu tenggelam ke dasar samudra.
Melayang-layang sendiri... Bagaimana mungkin saya dapat lanjut meniti lakon menegakkan keadilan? Tanpa ayah Yamin, saya kehilangan tiang untuk bersandar. Sementara hakim konstitusi yang selama ini saya jadikan peran idola, malah seenaknya sendiri berbuat nista dan dusta. Impian saya terinjak-injak olehnya!
Tak terasa, waktu terus berjalan. Kini, tiga tahun sudah setelah kejadian kehilangan. Selama tiga tahun, jiwa saya jatuh bangun mencari-cari cahaya. Mulai dari sok kuat menjadi pahlawan kebenaran. Sampai terkulai lemah tak berdaya sebagai korban ketidakadilan. Terus begitu. Silih berganti. Tiada henti.
Hingga akhirnya saya lelah. Selelah-lelahnya. Tak ada sedikit pun daya. Hanya bisa rebah. Pasrah. Di titik pusat kedalaman bumi. Sendirian. Gelap gulita. Yang terasa hanyalah gelombang keheningan.
Lamat-lamat tampaklah bias cahaya. Putih. Nun jauh di atas sana. Sinarnya teduh mengayomi jiwa. Memercikkan harapan. Batin saya pun berbisik lirih, "Gusti, saya di sini."