Mohon tunggu...
Levianti
Levianti Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog, Dosen Psikologi Universitas Esa Unggul

Suka diam sejenak, refleksi, menulis, dan ngoepi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berkembang dengan Ikut Komunitas

11 Juni 2023   19:37 Diperbarui: 13 Juni 2023   10:07 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(laresistance by Deviant Art -- pinterest)

Apa itu komunitas? Secara common sense, komunitas adalah kelompok kegiatan sesuai minat, hobi, ataupun kesamaan tertentu yang lain. Misalnya ada komunitas literasi, gowes, baking, dsb.  

Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), komunitas diartikan sebagai kelompok orang (ataupun organisme lainnya) yang hidup dan saling berinteraksi di dalam daerah tertentu; masyarakat; paguyuban; biasanya memiliki sifat serupa, ataupun minat dan beraktivitas dalam bidang yang sama (https://kbbi.web.id/komunitas).

Pengertian dari KBBI ini memvalidasi anggapan umum tersebut di atas, sekaligus juga memperluas cakupannya. Apakah keluarga juga termasuk sebuah komunitas?

Menurut Akhsanu (2022), keluarga merupakan komunitas primer yang terpenting di dalam masyarakat. Dikatakan sebagai komunitas primer karena kedekatan antar anggotanya sangat erat.

Pandangan serupa juga dinyatakan oleh Yusuf, R. M. (2021), yaitu bahwa keluarga merupakan inti masyarakat dan inti komunitas sosial. Anne Roe (1959, dalam Fitriani, 2020), seorang dosen di Universitas Arizona dan psikolog ternama Amerika, berpandangan bahwa gaya interaksi di dalam keluarga akan membentuk corak kebutuhan individu.

Orang tua yang memperlihatkan interaksi hangat dengan orang lain akan membentuk anak untuk juga ikut membina hubungan hangat dengan orang lain, demikian pula sebaliknya (Anne Roe). 

Anak yang orang tuanya berinteraksi sosial secara hangat akan tumbuh sebagai pribadi yang berorientasi pada relasi. Sementara anak yang orang tuanya berinteraksi sosial secara dingin, akan tumbuh sebagai pribadi yang tidak berorientasi pada relasi.

Orientasi anak ini selanjutnya akan mempengaruhi jenis karir dan jabatan yang dipilihnya, apakah pelaksanaan pekerjaannya lebih banyak berhubungan dengan orang ataukah dengan benda-benda.

Berdasarkan teori Roe tersebut, dapatkah kita berasumsi bahwa orang yang gemar berkomunitas cenderung berasal dari lingkungan pengasuhan yang hangat? Ataukah sebagai makhluk sosial, setiap orang secara alamiah memiliki kebutuhan untuk berkomunitas, tanpa dipengaruhi apakah ia berasal dari lingkungan pengasuhan yang hangat ataupun dingin (lingkungan pengasuhan hangat/dingin mungkin hanya akan mewarnai jenis komunitas yang dipilihnya, apakah berfokus pada interaksi antar sesama anggota, ataukah berfokus pada objek benda)? 

Baca juga: Sahabat

(laresistance by Deviant Art -- pinterest)
(laresistance by Deviant Art -- pinterest)

Baca juga: Sabar

Manusia memiliki kebutuhan yang kuat untuk terhubung dengan sesamanya (Erich Fromm).

Menurut Fromm (dalam Levianti, 2020), hidup bersama dengan orang lain tidak hanya berisiko konflik saja, di mana seseorang merasa dituntut karena lingkungan menciptakan kebutuhan baru terus menerus, ataupun seseorang merasa terhambat/tidak leluasa menemukan makna atas pekerjaannya secara mandiri karena lingkungan terlalu dominan.

Konflik yang ada di dalam hidup bersama perlu kita hadapi sebagai bagian dari proses tumbuh kembang. Bertekun dalam hidup bersama dengan orang lain sekaligus menjadi cara untuk menyelesaikan konflik. Dengan begitu, karakter kita akan berkembang.

Fromm menyatakan bahwa ada 4 dimensi karakter sosial yang akan berkembang dengan cara berkomunitas.

Pertama, karakter receptive- accepting. Pada mulanya, seseorang bergabung dengan komunitas dengan harapan untuk memperoleh sesuatu (receptive), misalnya penerimaan dari lingkungan yang memiliki kesamaan dengannya.

Setelah dijalani, ternyata tidak semua harapannya itu terpenuhi. Bilamana ia mau bertahan dan fokus mencari solusi bersama, maka karakternya akan berkembang, dari semula membutuhkan dan menuntut penerimaan dari orang lain, menjadi mampu menerima diri sendiri dan orang lain secara apa adanya (accepting).    

Kedua, karakter hoarding-preserving. Pada saat awal seseorang bergabung dengan komunitas, ia cenderung mengumpulkan manfaat demi manfaat yang diterimanya (hoarding), seperti kebersamaan, kemudahan akses informasi, dsb.

Seiring waktu, ia pun dituntut untuk berkontribusi secara lebih. Bilamana ia bersedia memberikan diri, maka karakternya akan berkembang, dari semula menimbun manfaat, menjadi kreatif menciptakan manfaat untuk kebaikan bersama / lestari (preserving).    

4 Dimensi Karakter Sosial, Fromm (adaptasi Canva: eL)
4 Dimensi Karakter Sosial, Fromm (adaptasi Canva: eL)

Ketiga, karakter exploitative-taking. Seseorang bergabung dengan komunitas biasanya karena ingin lebih maksimal dalam memperoleh manfaat yang ditawarkan. Tanpa sadar, motifnya adalah mengeruk keuntungan pribadi (exploitative).

Seiring waktu, ia merasa keuntungannya turun atau tidak sebanding dengan jerih payahnya. Bilamana ia mau berhenti sebentar lalu lanjut bertekun, maka karakternya akan berkembang, dari semula mengambil berlebihan, menjadi mengambil secukupnya saja sesuai kebutuhan, bahkan juga menggantinya, atau kemudian malah memberi lebih banyak (taking).    

Keempat, marketing-exchanging. Ketika awal seseorang bergabung dengan komunitas, ia cenderung mempromosikan dirinya dalam pergaulan. Tujuannya adalah untuk memperoleh dan memperluas keuntungan pribadi (marketing).

Seiring waktu, ia dituntut juga untuk timbal balik memberi dan melayani pemenuhan kebutuhan orang lain secara lebih luas. Bilamana ia mau ringan tangan, maka karakternya akan berkembang, dari semula berfokus pada kepentingan pribadi, menjadi berfokus pada manfaat timbal balik/kepentingan bersama (exchanging).      

Bila kita cermati perkembangan keempat dimensi karakter sosial tersebut di atas, berkomunitas nyata memberi kesempatan bagi seseorang untuk menerobos keterbatasan egonya dan kemudian memuai. Konflik-konflik yang dihadapi dan dipecahkan akan membuat efektivitasnya meningkat.

Seperti yang dialami oleh sosok inspirator bagi saya di perkumpulan Kuncup Padang Ilalang (KAIL). Beliau terlibat mengembangkan kebun di KAIL sejak tahun 2013 sampai dengan sekarang.

Pada awalnya, kebun dirancang dengan prinsip permaculture, yaitu membagi kebun ke dalam zona-zona, mulai dari zona terdekat dari rumah untuk sayuran/tanaman pangan sehari-hari, sampai zona terjauh untuk dibiarkan liar tanpa gangguan.

Namun pada kenyataannya, rencana tidak dapat persis dijalankan, karena ada yang luput dari perancangan. Misalnya, ayam dari para tetangga, yang banyak berkeliaran di kebun KAIL, lalu memakan tunas-tunas baru semaian tumbuh dari tanaman sayur.

Berbagai cara kemudian dilakukan untuk menyelesaikan masalah. Mulai dari bolak-balik berkomunikasi dengan para tetangga pemilik ayam, yang ternyata tidak membuahkan hasil sesuai harapan.

Kemudian beberapa kali berkreasi membuat aneka macam pagar bambu, yang juga tidak berhasil menahan serangan ayam. Sampai akhirnya menyesuaikan jenis tanaman yang tidak rentan serangan ayam serta menyesuaikan juga menu dan pola makan anggota KAIL. Inovasi terakhir ini bertahan cukup baik.

Talas, yang tahan serangan ayam (Foto: dok. KAIL)
Talas, yang tahan serangan ayam (Foto: dok. KAIL)

Dalam artikel reflektifnya, beliau menyatakan bahwa dalam kegiatan komunitas, seperti pengembangan kebun di KAIL, ada banyak hal dalam rencana yang tidak dapat dijalankan.

Pada saat itu, anggota komunitas perlu melakukan perubahan dan penyesuaian agar tujuan yang lebih besar tetap dapat dicapai, dengan cara mengerahkan kreativitas dalam mencari solusi. Ragam solusi kreatif yang diujicobakan akan menambah pembelajaran, pengalaman, dan menguatkan niat.      

Contoh di atas menunjukkan bagaimana keempat dimensi karakter sosial berkembang melalui komunitas:

  • Mulai dari receptive (meminta tetangga pemilik ayam mengerti masalah kebun Rumah Kail akibat ayam yang dibiarkan berkeliaran) menjadi acceptance (menerima ketidakmengertian tetangga dan mencari solusi lain).
  • Lalu dari hoarding (bertahan pada rencana) menjadi preserving (kreatif mengubah rencana untuk tetap mencapai tujuan).
  • Dari eksploitative (merancang kebun sesuai konsumsi) menjadi taking (menyesuaikan menu dan pola makan sesuai hasil kebun).
  • Serta dari marketing (mengembangkan kebun Rumah KAIL) menjadi exchanging (mengembangkan kebun Rumah KAIL dan melayani kebutuhan para tetangga akan lahan untuk berkeliaran ayam-ayam mereka).

Bila kita mau meluangkan waktu sejenak untuk berefleksi, tentu kita juga menghadapi konflik sekaligus perkembangan karakter melalui hidup bersama kita dengan orang lain di dalam komunitas, bukan?

Mari, kita terus berkembang bersama dengan ikut komunitas!

Kita bisa memilih komunitas yang ada sesuai dengan minat dan kemampuan. Atau, kita juga bisa memulainya dari diri sendiri, dengan cara mengajak anggota (keluarga, tim, teman main) untuk aktif terlibat / bergotong royong dalam hidup bersama sehari-hari.***  

***

Daftar Pustaka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun