Pada saat jatuh cinta, dan gayung bersambut, kita merasa bahagia. Pasangan serasa jodoh kita.
Demikian juga saat kita dengan bulat bersepakat untuk menikah. Berbagai persiapan kita lakukan dengan antusias, baik perayaan secara lahiriah, seminar pra-nikah 'tuk validasi batiniah, dan aneka upaya persiapan lainnya. Pasangan semakin niscaya menjadi jodoh kita.
Buah-buah cinta pun lahir. Anak pertama terasa tiada dua. Anak kedua melengkapi bahagia. Anak ketiga mekar semakin sempurna. Anak keempat ibarat hadiah istimewa. Tanpa terasa, formasi keluarga tau-tau berubah. Apakah ini tanda bahagia? Atau tanpa sadar, menjadi lilitan yang memenjara?
Yang jelas, perceraian mulai marak, menjadi trending issue, bahkan hal ini pun diangkat oleh Kompasiana sebagai salah satu topik pilihan. Ada udang apakah yang sesungguhnya tersembunyi di balik batu perceraian? Mari kita susuri bersama untuk menemukan jawabannya.
Menurut Loyola (dalam Darminta, 1993), sebagian besar pernikahan didorong oleh hawa nafsu dan kelekatan tidak teratur. Dalam filsafat, hawa nafsu dan kelekatan tidak teratur ini dikenal dengan istilah libido. Libido mengandung 2 unsur, yaitu target dan nafsu (Bunjamin, 2019, dalam Levianti, 2022).Â
Hampir semua perilaku manusia, termasuk keputusan dan tindakan menikah, tanpa sadar didorong oleh libidonya. Berdasarkan sifat targetnya, libido dapat dibedakan menjadi 3, yaitu posenandi (nafsu untuk menikmati dan memiliki), dominandi (nafsu untuk berkuasa dan dituruti), serta adorandi (nafsu untuk menjadi baik-suci dan terluhur).
Pribadi yang tanpa sadar dikuasai oleh libido posenandi bisa saja memutuskan untuk menikah karena terdorong oleh keinginan untuk memiliki pasangannya, ingin lebih bahagia, dsb.
Pribadi dengan libido dominandi cenderung menikah untuk dapat mengatur pasangannya, mendobrak keterbatasan ataupun norma tradisional, dsb.
Sementara libido adorandi akan mendorong seseorang untuk menikah dalam rangka memenuhi ajaran kebenaran, meninggikan statusnya, dsb.
Contoh kasus berikut ini mungkin dapat memperjelas. Adalah sepasang kekasih dewasa yang sudah berpacaran lama dan juga sudah merencanakan pernikahan dalam 2-3 tahun yang akan datang.
Namun mereka kemudian bersepakat untuk mempercepat pernikahannya dalam rangka memenuhi keinginan orang tua dari kedua belah pihak, mengingat ada salah satu orang tua yang kondisinya kritis. Semua pihak menganggap ini merupakan keputusan yang baik. Tanpa sadar, mereka digerakkan oleh libido adorandinya.
Meskipun sudah berpacaran lama dan tidak ada aral melintang dalam pernikahan dan kehidupan rumah tangga, namun tidak menjamin hubungan mereka bebas dari ancaman perceraian.
Ketika menginjak usia 9 - 12 tahun, ikatan pernikahan mereka bersifat kritis. Perasaan meragukan pasangan sebagai jodoh sejati mulai muncul. Godaan menaruh hati kepada lawan jenis yang lain mulai nyata menggiurkan. Keinginan bercerai mulai merongrong jiwa.
Beberapa analisa dilakukan untuk memahami keadaan dan menyelesaikan permasalahan.
Literasi penelitian dalam bidang psikologi industri dan organisasi menunjukkan bahwa rentang masa bakti 9 -- 12 tahun bersifat kritis dalam hal komitmen kerja (berbagai sumber).
Banyak karyawan yang mengalami penurunan komitmen terhadap perusahaan dan pekerjaannya pada masa itu. Apakah komitmen kritis dalam rentang masa ini mungkin berlaku juga dalam hubungan pernikahan?Â
Tinjauan psikologi perkembangan dari Erikson, Marcia, Waterman, dkk. menempatkan fenomena tersebut sebagai bagian dari proses pencarian identitas dalam bidang pasangan hidup. Pencarian identitas ditandai dengan mempertanyakan kembali ketepatan komitmen pada saat ini (Marcia, 1993).
Seseorang yang kemudian terburu-buru memilih untuk kembali mencengkeram teguh komitmennya tanpa eksplorasi memadai cenderung akan menyesali keputusannya di usia tua nanti (status identitas foreclosure, di mana komitmen tinggi dan eksplorasi rendah).
Sebaliknya, terburu-buru meninggalkan komitmen dan sembarangan bereksplorasi, dengan cara berselingkuh maupun kawin-cerai, juga akan menyeretnya dalam arus kebingungan dan kehampaan tak berujung (status identitas difusi, di mana komitmen dan kualitas eksplorasi rendah).
Yang perlu dilakukan pada saat demikian adalah masuk menyelami kedalaman refleksi jiwa dan menjajaki pemenuhan keinginan secara adaptif dan bijaksana (kualitas eksplorasi adekuat, menunjukkan status identitas moratorium).
Tujuannya tak lain adalah untuk menetapkan komitmen secara teguh berdasarkan hasil eksplorasi mandiri yang memadai (status identitas achievement, di mana eksplorasi dan komitmen tinggi).Â
Pemahaman mengenai sifat kritis komitmen dalam rentang masa tertentu, serta kerangka perkembangan identitas dalam bidang pasangan hidup tersebut di atas membuat cengkeraman permasalahan mengendur. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana caranya kita dapat melakukan eksplorasi secara adekuat dalam rangka membangun komitmen nan teguh?
Eksplorasi adekuat dilakukan dengan cara menghadapi tantangan untuk mewujudkan tujuan. Berbeda dengan eksplorasi semu / palsu, yang mencari-cari cara untuk menghindari tantangan dan takut mengambil tanggung jawab dalam menentukan tujuan.
Berhadapan dengan tantangan berarti fokus menyimak kenyataan, baik kenyataan yang ada di dalam dirinya maupun yang ada di luar dirinya. Seseorang perlu mawas diri dan sadar untuk benar-benar dapat mengamati kenyataan.
Mawas diri dan kesadaran ini dapat dilatih antara lain melalui kebiasaan berjeda antar aktivitas (Sudrijanta, 2020). Jeda dilakukan pada saat kita usai melakukan satu kegiatan, dan sebelum memulai kegiatan yang baru. Waktu jeda tak perlu lama, cukup sekitar 3 menit. Yang dilakukan saat jeda ialah menikmati napas panjang secara teratur. Dengan begitu, ketegangan otot mengendur, kondisi rileks, dan tabir kesadaran atas kenyataan pun perlahan-lahan terbuka.
Unsur kedua dari eksplorasi adekuat ialah adanya orientasi mewujudkan tujuan. Ini berarti individu mau mengambil tanggung jawab / bersikap proaktif. Menurut Covey (2001, dalam Saputra, 2001), kebiasaan proaktif dapat kita latih dengan "menekan tombol pause di dahi" (berhenti sejenak) sebelum bertindak.
Kemampuan untuk berhenti dulu sebelum langsung mengikuti dorongan bertindak ini dapat kita bangun melalui latihan berjeda antar aktivitas juga. Latihan berjeda menumbuhkan kesadaran yang sifatnya pasif (pikiran berhenti) dan responsif (batin jernih, hidup, kreatif), atau kualitas pause yang adekuat.
Kondisi batin yang pasif-responsif akan memudahkan kita untuk memilah dan memilih. Yang penulis maksud dengan memilah adalah melepaskan cengkeraman libido (ragam dorongan yang berdaya desak dan mendorong: posenandi, dominandi, adorandi). Setelah desakan-dorongan reda, kita dapat memilih untuk tidak mengikuti kecenderungan reaktif-impulsif yang mengutamakan pemuasan kepentingan pribadi. Kita dapat leluasa memilih tindakan untuk memenuhi kebutuhan demi kebaikan bersama.
Kembali pada keinginan pasangan untuk bercerai dalam contoh kasus di atas. Setelah mengeksplorasi kedalaman diri dengan melakukan latihan diam dan berjeda setiap hari selama satu bulan penuh, nyatanya dorongan berselingkuh pun reda, keraguan pupus, dan tali komitmen menguat.
Seperti tunas pohon yang tumbuh perlahan ke atas dan semakin lama semakin kuat mengakar, demikian jugalah kualitas pernikahan mereka tumbuh berkembang.
Godaan tidak hilang, bahkan selalu tetap ada, hanya saja daya desaknya memudar perlahan-lahan, semakin lama semakin lemah, dan akhirnya minim sehingga tidak lagi terasa mengganggu dan mendorong penyimpangan. Hawa nafsu dan kelekatan tidak teratur sudah jinak ditaklukkan. Keteraturan sejati di dalam diri ini mengarahkan kita untuk memilih bertindak menciptakan keteraturan secara alami. Buah keteraturan yang matang, bukan dipaksa oleh aturan dari luar diri.
Bila udang di balik batu perceraian sudah ditemukan dan dibudidayakan, adakah perceraian masih menjadi keinginan yang menjajah?***
Daftar Pustaka
- Loyola, I. Latihan Rohani St. Ignasius Loyola. Darminta, J. 1993. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
- https://proaktif.kail.or.id/2022/08/pikir-transformasi-masyarakat/ diakses pada 26 Mei 2023 pukul 18.14
- Marcia, J. 1993. Ego Identity. New York: Springer New York, Inc.
- Sudrijanta, J. 2020. Transformasi Penderitaan Menjadi Keindahan Hidup. Daring: Program Rumah Keheningan.
- Covey, S., 2001. 7 Kebiasaan Remaja yang Sangat Efektif. Saputra, A. 2001. Jakarta: Binarupa Aksara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H