Filomologi- Ave Maryam merupakan sebuah film Indonesia tahun 2018, film ini menceritakan seputar kisah pergolakan hati antar sebuah biarawan dan biarawati seputar keputusan hidup mereka kedepannya.
Mengenal Film Ave Maryam (2018)
Menjadi seorang biarawan dan biarawati merupakan sebuah keputusan besar dalam kehidupan umat Katolik.Â
Menjadi biarawan dan biarawati berarti menyanggupi hidup untuk hidup menganut tiga kaul yakni kaul kemurnian, kaul ketaatan, dan kaul kemiskinan. Artinya, seorang suster dan imam diwajibkan untuk hidup sendiri dan tidak menikah.
Tentunya hal tersebut menjadi tantangan besar bagi manusia karena pada dasarnya manusia memiliki hormon seksualitas dan badaniah yang harus dipenuhi. Selain itu perempuan memiliki hormon yang bernama Hormon Oktosin yang menghasilkan keinginan untuk berumah tangga, menjadi ibu, dan memiliki anak.
Pada film ini, diceritakan bahwa Suster Maryam yang adalah seorang biarawati gereja yang memiliki kesibukan sehari-hari untuk menjaga dan merawat suster senior tiba-tiba bertemu dengan seorang romo bernama Romo Yosef yang membuat Ia jatuh hati dan memiiki perasaan ragu dan dilema untuk melanjutkan panggilan hidupnya.Â
 Resepsi Khalayak Dalam Film Ave Maryam (2018)
Intinya, khalayak merupakan sebuah kelompok tertentu dalam masyarakat yang menjadi sasaran komunikasi
Resepsi khalayak saat ini tidak hanya bisa dilihat dari pengguna media sosial namun juga reaksi seseorang ketika menonton film.
Resepsi khalayak dalam menonton film bisa saja berupa perasaan senang, sedih, termotivasi namun juga bisa merasa kecewa, putus asa, dan gelisah.
Film Ave Maryam yang mengangkat isu romansa biarawan dan biarwati Gereja Katolik sebenarnya memiliki banyak kontroversi.
Film ini dianggap membuka aib antara biarawan dan biarwati Katolik yang sebenarnya tidak perlu diangkat menjadi film.
Oleh sebab itu, saya mencoba bertanya seputar resepsi dan tanggapan ketiga rekan saya seputar film ini, apakah mereka memiliki perasaan tidak enak, gelisah, atau justru menikmati film ini meskipun topik cerita yang dianggap cukup sensitif.
Ketiga narasumber itu merupakan Wita Monica seorang mahasiswa komunikasi universitas IPB, Maria Devina mahasiswa beragama Katolik dan Jeslyn mahasiswa beragama Kristen.
Ada persamaan dari ketiga narasumber yang saya tanya seputar perasaan mereka setelah menonton film Ave Maryam, yakni kekecewaan.
Kekecewaan terhadap ending atau akhir cerita film yang dianggap menggantung dan tidak menjelaskan kisah romansa Suster Maryam dan Romo Yosef berikutnya. Apakah mereka melanjutkan panggilan hidup mereka atau justru melepaskan panggilan hidup mereka demi perasaan cinta mereka.
Selain itu, ketiga narasumber juga menganggap isu romansa antar biarawan dan biarawati bisa saja terjadi karena pada dasarnya biarawan dan biarawati adalah seorang manusia yang memiliki hormon dan rasa cinta.
Namun, Maria Devina selaku umat beragama Katolik memaparkan bahwa sebenarnya ada kegelisahan yang dirasakan ketika menonton film Ave Maryam ini.
"Aku pernah bahas film itu sama salah satu suster dan beliau menolak film itu karena dianggap banyak aturan gereja yang kurang srek."
"Kan di akhir cerita susternya ngaku dosa sama romo Yosef ya, nah kata suster yang aku tanya sebenarnya ga boleh karena romo nya juga berdosa kan, karena romo nya juga suka sama susternya."Â
Berbeda dengan Maria Devina, Wita Monica memiliki pendapat yang berbeda. Sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi, resepsi khalayak Wita hanya terfokus pada penampakan dan alur cerita dari Ave Maryam.
"Menurut aku cinematografinya bagus, konsep filmnya tenang gitu."
"Tapi untuk kisah dan jalan ceritanya aku bisa maklum karena menurut aku romo dan suster kan tetap sama-sama manusia, jadi wajar aja kalau mereka bisa saling suka."
Selain itu, narasumber ketiga saya yakni Jeslyn yang menganut agama Kristen memiliki pendapat yang berbeda.
"Pandanganku sebagai umat kristen sih ya kayak loh berarti imam belum tentu imannya ga kuat ya? Kan seharusnya mereka ada semacam "janji" gitu gasih buat jadi suster atau pastor gitu ya?"
Menurut Jeslyn, dengan adanya film Ave Maryanm ini justru memberikan Ia insight dan pandangan baru bahwa kisah cinta imam dan biarawati di Gereja Katolik bisa saja terjadi.
 "Banyak bgt film-film yang buat genre kayak suster love pastor atau ga suster yang suka sama cowo gitu-gitu deh, jadi pandanganku tiap liat suster itu jadi beda gara-gara nonton film yang selalu kasih pandangan suster yang kayak gitu gitu ajasih Nas." tutup beliau.
Pada intinya, selain memberikan hiburan kepada penonton, sebuah fim juga bisa menciptakan resepsi barus serta pemahaman baru bagi penontonnya. Tentunya dibutuhkan pemahaman serta kemampuan bagi kita untuk mampu menyaring setiap pesan positif dari film yang kita tonton.
DAFTAR PUSTAKA
Nasrullah, M. S., & Rulli, D. (2018). Riset khalayak digital: Perspektif khalayak media dan realitas virtual di media sosial. Bandung Institute of Technology.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H