Film Ave Maryam yang mengangkat isu romansa biarawan dan biarwati Gereja Katolik sebenarnya memiliki banyak kontroversi.
Film ini dianggap membuka aib antara biarawan dan biarwati Katolik yang sebenarnya tidak perlu diangkat menjadi film.
Oleh sebab itu, saya mencoba bertanya seputar resepsi dan tanggapan ketiga rekan saya seputar film ini, apakah mereka memiliki perasaan tidak enak, gelisah, atau justru menikmati film ini meskipun topik cerita yang dianggap cukup sensitif.
Ketiga narasumber itu merupakan Wita Monica seorang mahasiswa komunikasi universitas IPB, Maria Devina mahasiswa beragama Katolik dan Jeslyn mahasiswa beragama Kristen.
Ada persamaan dari ketiga narasumber yang saya tanya seputar perasaan mereka setelah menonton film Ave Maryam, yakni kekecewaan.
Kekecewaan terhadap ending atau akhir cerita film yang dianggap menggantung dan tidak menjelaskan kisah romansa Suster Maryam dan Romo Yosef berikutnya. Apakah mereka melanjutkan panggilan hidup mereka atau justru melepaskan panggilan hidup mereka demi perasaan cinta mereka.
Selain itu, ketiga narasumber juga menganggap isu romansa antar biarawan dan biarawati bisa saja terjadi karena pada dasarnya biarawan dan biarawati adalah seorang manusia yang memiliki hormon dan rasa cinta.
Namun, Maria Devina selaku umat beragama Katolik memaparkan bahwa sebenarnya ada kegelisahan yang dirasakan ketika menonton film Ave Maryam ini.
"Aku pernah bahas film itu sama salah satu suster dan beliau menolak film itu karena dianggap banyak aturan gereja yang kurang srek."
"Kan di akhir cerita susternya ngaku dosa sama romo Yosef ya, nah kata suster yang aku tanya sebenarnya ga boleh karena romo nya juga berdosa kan, karena romo nya juga suka sama susternya."Â
Berbeda dengan Maria Devina, Wita Monica memiliki pendapat yang berbeda. Sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi, resepsi khalayak Wita hanya terfokus pada penampakan dan alur cerita dari Ave Maryam.