"Bukan, Rio. Itu namanya keripik belut." Wira menjawab dengan terbahak-bahak.
"Kok, kamu bisa tahu?" Sekar bertanya lebih cepat dari Rio, seolah dia tahu bahwa Rio juga akan bertanya hal yang sama dengannya.
Wira pun berhenti dari tertawanya, "Ayahku kemarin mendapat kiriman keripik belut dari saudaranya yang ada di Solo. Memangnya kamu tidak tahu bentuk belut seperti apa? Seingatku pernah dijelaskan ibu guru di sekolah.
Iya, Rio. Ini namanya keripik belut. Mbah juga mendapatkan keripik belut ini dari seseorang yang sangat baik dengan Mbah. Keripik belut salah satu makanan yang populer dan sampai sekarang keberadaannya masih lestari. Hal itu karena banyak orang membudidayakannya. Ayo, semuanya kita makan dulu. Kalau kalian merasa belum terbiasa dengan rasa masakannya Mbah, itu tidak apa-apa. Ambillah sedikit dulu untuk mencobanya. Anak Indonesia harus tahu rasa makanan tradisional, bahkan yang hampir langka dijual di pasar." Mbah Broto mempersilakan anak-anak untuk mengambil nasi.
Mereka pun mulai menuangkan nasi dari bakul kecil ke atas piring dan mengambil sayur serta lauknya.
"Bagaimana rasanya?" Mbah Broto seolah tidak sabar ingin segera tahu bagaimana pengalaman awal mereka ini.
Sebagai anak yang selalu diandalkan teman-temannya, Adit menjawab dengan sopan, "Rasanya cukup enak Mbah. Mungkin karena pengalaman pertama, jadi masih terasa aneh di lidah."
Rio, Wira, dan Sekar pun mengiyakan jawaban Adit.
"Kalau aku sih suka dengan keripik belutnya, rasanya mirip ikan yang digoreng kering."
"Kalian bagaimana, apakah sama denganku?"
Rio, Wira, dan Adit membenarkan pendapat Sekar. Mereka pun tidak canggung lagi untuk mengambil beberapa buah keripik belut dan ditaruh di atas piring masing-masing. Rasanya yang kriuk sangat cocok dimakan dengan nasi hangat.