"Ayo, semuanya kita menuju ke rumah Mbah Dukun." Adit mengajak ketiga temannya.
Kembali mereka berempat menaiki sepeda masing-masing dan meluncur ke balik bukit menuju rumah Mbah Dukun.
"Memangnya kamu tahu di mana persisnya rumah Mbah Dukun, Dit? Di balik bukit itu kan sepi dan sepertinya tidak ada rumah penduduk." Wira sedikit berteriak dari arah belakang.
"Ya, justru karena tidak ada rumah penduduk, kita lebih mudah mencarinya. Kalau nanti kita menemukan rumah di balik bukit itu, berarti itu rumah Mbah Dukun. Kamu takut, ya?" Adit sedikit tertawa seolah mengejek keberanian Wira.
Namun Wira tidak terlalu menghiraukan ejekan Adit, dia lebih konsentrasi untuk menjaga Sekar selama perjalanan ke arah balik bukit.
Dari kejauhan tampak rumah gubuk dengan kursi bambu panjang berada di depannya. Di halaman rumah gubuk itu ada beberapa tanaman yang cukup terawat, mungkin tanaman obat-obatan, sedangkan di pojok belakang rumah terdapat pohon beringin yang akarnya sudah mulai menjuntai ke bawah.
Rumah itu tampak sepi seperti tak berpenghuni. Mereka berempat memarkirkan sepeda di samping rumah gubuk itu. Adit berjalan mengendap-endap diikuti oleh ketiga temannya.
"Kenapa kita harus mengendap-endap, kan kita bukan mau maling?" Rio membuka suara tanda kurang setuju dengan apa yang dilakukan Adit.
"Ah, merusak suasana saja kamu, Rio. Dengan mengendap-endap seperti ini, kita jadi lebih bisa merasakan suasana petualangannya. Kamu kurang gaul. Nggak pernah lihat film-film petualangan, ya?" Adit mencoba menjelaskan dengan nada sedikit kesal.
"Iya, oke...aku ikut caramu." Rio akhirnya mengalah.
Adit mengintip dari celah gubuk. Rio berada di belakangnya dan memegang bahu Adit sedangkan Wira dan Sekar berada di belakang mereka berdua.