Keduanya pun bergegas menaiki sepeda masing-masing mengejar Wira dan Sekar.
++++++++
Keesokan harinya, waktu menunjukkan pukul 13.30. Setelah makan siang, mereka berempat sudah siap dengan sepeda masing-masing dan berkumpul di rumah Adit. Mereka sudah tidak sabar ingin melihat lagi benda yang mereka perkirakan sebagai keris. Mereka mulai mengayuh sepeda dengan penuh riang. Angin sepoi-sepoi dan cuaca yang tidak begitu panas menambah suasana keriangan mereka.
"Jangan-jangan keris itu milik Mbah Dukun yang rumahnya ada di balik bukit itu ya, Dit?" Rio menoleh ke arah Adit seolah meminta persetujuan.
"Ah, ada-ada saja kamu!" Adit berusaha tidak menghiraukan ucapan Rio.
"Tapi menurut penduduk kampung sih di balik bukit itu memang ada rumah Mbah Dukun. Bagaimana kalau kita ambil keris itu lalu kita bertanya ke Mbah Dukun." Rio bersikeras.
Hati Adit tergelitik dan rasa penasarannya mulai muncul. Ia bergumam dalam hati, "Benar juga kata Rio, lebih baik keris itu diambil saja, lalu datang ke rumah Mbah Dukun untuk menanyakan tentang keris itu."
Sambil terus mengayuh sepedanya dan sedikit berpikir, Â Adit pun menanggapi Rio. "Oke, aku setuju. Kita ambil keris itu lalu kita bawa ke rumah Mbah Dukun. Bagaimana dengan Wira dan Sekar? Apakah kalian setuju?"
Wira dan Sekar pun mengangguk ragu. Sekar berbisik kepada Wira, "Sebetulnya aku takut, tapi aku penasaran." Wira hanya tersenyum sambil mengedipkan matanya. "Tenang saja, aku juga takut, tapi aku juga penasaran. Ayo, kita nikmati saja petualangan ini." Ajak Wira dengan suara yang menenangkan.
Sampailah mereka di tempat kemarin sore. Mereka mulai mengambil satu per satu dedaunan yang menutupi keris itu. Dua orang penduduk kampung terlihat sedang bekerja di ladang dan tidak terlalu menghiraukan aksi keempat bocah yang selalu penasaran ini.
Akhirnya terlihatlah keris itu. Adit mencoba mengambilnya. Tidak terlalu besar namun cukup berat. Dimasukkannya keris kecil itu ke dalam tas yang diselempangkan di bahunya.