"Adit, kenapa kita harus bersepeda menuju bukit, sih? Kalau terlalu sore, bukit itu sepi, sudah tidak ada penduduk yang bekerja di ladang dekat bukit." Rio tampak kurang setuju dan berusaha mengingatkan Adit sambil mengayuh sepedanya lebih cepat dan berusaha sejajar dengan Adit.
Rio memang anak yang kritis dan senang berpikir, namun seringkali terselip rasa takut untuk mencoba sesuatu yang baru.
"Ayo, kita pulang saja, besok siang kita kembali lagi ke bukit itu." Ajak Rio dengan wajah sedikit gelisah.
"Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan pada kalian. Tenang saja, hanya sebentar kok. Kita hanya ke ladang di dekat bukit itu." Adit berusaha menenangkan Rio.
Sebenarnya Rio takut jika bermain terlalu sore, namun dia juga penasaran, apa sebenarnya yang ingin ditunjukkan oleh Adit.
Sampailah mereka ke sebuah ladang di dekat bukit itu. "Ayo, sini semuanya, aku ingin menunjukkan sesuatu pada kalian. Kemarin aku melihatnya dan aku mencoba menutupinya dengan dedaunan ini."
Rio, Wira, dan Sekar berusaha mendekat. "Apa itu?" Sekar mulai bergerak mundur dan wajahnya menunjukkan rasa takut.
"Jangan diambil, itu seperti senjata tajam. Bentuknya mirip keris. Bagaimana jika itu berbahaya dan sengaja diletakkan oleh seseorang di ladang ini." Rio melarang Wira ketika tangannya hampir menyentuh benda yang mirip keris itu.
"Ayo, kita pulang saja, sebentar lagi azan magrib, langit juga sudah mulai gelap." Sekar mulai merengek dan menarik tangan Wira agar segera pergi dari tempat itu.
"Iya, betul kata Sekar. Kita tutup saja lagi keris itu dengan dedaunan. Besok siang kita kembali lagi ke sini." Wira mulai berlalu dan siap-siap menaiki sepedanya. Tak lupa Wira mengajak Sekar karena selain Sekar paling bontot, dia juga selalu membutuhkan teman yang bisa menjaganya.
Adit dan Rio pun segera menutup keris itu kemudian Rio bertanya, "Dit, sejak kapan kamu menemukan keris ini?" Adit menjawab sambil tangannya buru-buru menutup keris, "Kemarin, aku bermain sendirian dan melihat keris ini."