"Jangan duduk di depan pintu, nanti susah jodoh. Jangan makan berutu ayam, nanti kamu selalu kalah sama orang-orang. Kalau nyapu harus bersih, biar nanti nggak berjodoh sama yang brewokan."
Masih banyak lagi jangan dan kalau yang sangat muak kudengar. Zaman modern begini masih saja percaya mitos yang nggak karu-karuan. Mungkin karena ibuku keturunan Jawa tulen, jadi ibu sangat percaya akan hitungan rumit tentang apa yang dialami oleh manusia. Mulai dari watak, arti nama, pekerjaan, hingga urusan percintaan. Semuanya ada di dalam buku ibu. Primbon.
*****
"Jangan menikah sama dia, ibu nggak suka. Cara makannya saja tidak sesuai dengan primbon ibu. Sembarangan dan terlihat nggak sabaran. Itu tandanya dia orang yang mau menang sendiri. Sudah siap berumah tangga dengan orang yang seperti itu, Nduk?"
Namun aku tetap bersikukuh ingin menikah dengan Alvin yang modern, keren, berwawasan, open minded, dan nggak kaku kaya ibu.
Pasti cocok dengan aku, Citra Pratiwi yang selalu modis dengan segudang prestasi di bidang public relation.
*****
"Sekarang, apakah aku harus percaya dengan primbon ibu?"
Saat sedikit lagi tanganku akan membuka handle pintu ruangan kerja Alvin, saat itu pula rekan kerjanya yang cantik dan baru kukenal seminggu yang lalu, muncul dari arah dalam. Dia menyapaku alakadarnya dan segera berlalu terburu-buru.
"Hai, Sayang. Tumben siang-siang ke kantor. Mau ngasih kejutan, ya? Alvin berusaha menghilangkan gugup sementara tangannya terus merapikan kemeja yang belum terkancing seluruhnya.