Datangnya rinai di sore hari selalu dinanti olehku. Sejuknya menemani temaram dan resah hati. Nabastala yang mendung menghitam menginginkanku bergelung di atas peraduan yang belum kurapikan sisa semalam. Masih jelas dalam ingatan, aku dan kamu berjalan riang dibawah rinai, yang tak lama kemudian berubah menjadi tetesan yang kian deras.
Masa itu di mana aku dan kamu berlarian menari riang. Tak ada rasa enggan walau tak berbalut pakaian. Biarlah ingatanku ini dibawa oleh sang bayu yang menyeruak di antara rinai kelabu.
Tak ada kata pamit darimu, hanya sepucuk surat terlipat yang kamu simpan dibawah taplak meja beranda rumahku. Sekian purnama berlalu, aku sudah tak tahu kabarmu, hanya salam rindu yang bisa ku titipkan pada sang bayu. Berharap aroma rindu tercium olehmu, bersama rinai kelabu yang seakan sudah menjadi candu bagiku.
Bergegas langkahku menyusulmu ke kota, ingin melihatmu seperti yang tertera di berita. Tak ku sangka kamu terjerat mariyuana, membuatku semakin gundah gulana. Mataku terpejam namun jiwaku berkelana memanggilmu pulang ke desa dengan suasana seperti di nirwana.
Betapa sejak kamu pergi, ku hitung detik detak waktu. Pulanglah, wahai sahabat kecilku, agar tak perlu lagi aku berbisik pada rinai kelabu, dan berteriak sendu pada asmaraloka, yang menyelimuti indahnya bianglala di waktu senja.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H