Mohon tunggu...
Anastasia Bernardina
Anastasia Bernardina Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuka Aksara

Berbagi energi positif dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dua Sahabat Pantai di Bawah Lembayung Senja

22 Juni 2022   20:59 Diperbarui: 22 Juni 2022   21:11 909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Bingo Naranjo dari Pixabay

"Kamu?" Aku terpana melihat beberapa perubahan yang terjadi pada tubuhnya itu. Dia seperti mengerti apa yang ada di pikiranku. Tanpa diminta, dia mulai menjelaskannya. "Setelah kita bertemu dengan seember sampah di tangan kananku, sore harinya aku melaut dengan ayahku, hujan deras dan badai menerpa perahu kami. Aku hampir mati, namun Tuhan masih memberi kesempatan kedua untukku supaya menjaga wisata bahari ini. Tempat di mana aku bisa bertahan hidup dengan menggantungkan diri pada hasil laut.

Aku menatap matanya dengan senyum dan perasaan penuh sukacita. Aku mengajaknya duduk di tepi pantai yang sekarang sudah dinaungi lembayung senja. Aku mengutarakan serangkaian kata seraya mataku menatap ke arah lepas pantai, "Aku tidak tahu, apa sebetulnya definisi yang pasti mengenai sebuah takdir yang seringkali dibahas oleh banyak orang. Kembalinya aku ke pantai ini bukan hanya semata-mata untuk liburan, tetapi aku punya satu tujuan yaitu mencarimu yang kerapkali datang ke mimpiku. Aku bisa merasakan sesuatu telah menimpamu walaupun saat itu kita hanya sekali bertemu. Nama kamu pun aku tak tahu, karena saat itu aku belum sempat berkenalan. Kamu sudah terlanjur marah dan menganggapku sebagai nenek-nenek yang berisik dan mengganggu." Aku sedikit tertawa seraya mataku memerhatikan cara duduknya yang terlihat kurang nyaman.

"Namaku Razan, maafkan atas sikapku yang dulu. Aku pun sering memimpikanmu. Mungkin sesuatu yang aneh dan tidak masuk akal ketika dua orang yang baru sekali bertemu, bisa saling memimpikan lalu bertemu kembali beberapa tahun kemudian. Bukan begitu, sahabatku?" Ungkapnya seraya meninju kepal tangannya di bahuku.

"Apakah ini yang disebut dengan takdir Tuhan?" Kami berdua bertanya hampir berbarengan dengan mata yang saling menatap penuh keterkejutan dan kami hanya menjawabnya dengan saling melepas tawa ditemani lembayung senja.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun