Saat kelas klub sedang berlangsung , tiba-tiba seorang siswa maju dan minta ijin untuk pulang lebih awal. “Ada apa?” tanyaku, “Mau les miss.”, jawabnya. “Lho, kan hari ini jadwalnya klub ?”, lanjutku. “Iya miss, tapi besok ada ulangan, dan guru lesku bisanya jam 4 sore ini.” Setelah beradu argumentasi, akhirnya kuberikan ijin untuk pulang dengan beberapa catatan.
Cerita diatas adalah sekelumit pengalaman pribadi, yang mungkin juga sering dialami oleh rekan-rekan guru yang lain. Istilah guru les sepertinya sudah menjadi trend untuk siswa di kota besar saat ini (belum bisa memastikan untuk siswa di kota kecil). Bahkan mungkin, guru les sudah mendarah daging di kalangan siswa . Kalau tidak les mata pelajaran (mapel) tertentu, maka si anak merasa tidak yakin atau tidak pede (percaya diri) untuk mengerjakan ulangan atau tes yang diselenggarakan di sekolah. Orang tua pun pasti mendukung (dan tentunya senang) dengan langkah si anak untuk belajar bersama guru les. Sehingga orang tua pun tidak segan-segan mengeluarkan biaya tambahan untuk membayar guru les, dengan harapan si anak akan menjadi lebih pintar (lebih mengerti) tentang pelajaran di sekolahnya.
Ketika saya masih duduk di bangku sekolah dulu, kalau sampai les di rumah itu malah malu. Maksudnya begini, jika siswa mencari guru les berarti dia dianggap tidak mampu menangkap penjelasan guru di sekolah, sehingga membutuhkan tambahan pelajaran dengan bantuan guru les. Dengan kata lain mencari dan belajar dengan guru les itu menjadi suatu kebutuhan bagi siswa untuk menjadi lebih mengerti mata pelajaran tertentu. Itu dulu ... Tetapi rupa-rupanya saat ini paradigmanya sudah berubah. Siswa yang punya kemampuan akademik yang bagus pun ternyata tetap mencari guru les untuk teman belajar. Siswa memilih untuk tidak mengajukan pertanyaan di kelas saat tidak mengerti dengan apa yang sudah dijelaskan guru. Siswa memilih untuk berkata “Jelasssss....”, ketika seorang guru bertanya “Apakah sudah jelas? Ada yang mau ditanyakan ?”. Saya yakin sebenarnya banyak alasan yang disimpan di dalam hati si anak.
Beberapa alasan yang mungkin menjadi alasan mereka tidak mau bertanya, diantaranya :
Malu dianggap “lola” (loadingnya lama) oleh teman-temannya. “Ah, lebih baik aku bertanya ke guru lesku nanti sore daripada menjadi bahan olok-olok teman ...”, pikir si anak.
Tidak tertarik dengan apa yang sedang dijelaskan oleh guru, mungkin cara menjelaskannya kurang menarik bagi siswa. Sehingga justru si anak sama sekali tidak mengerti dengan apa yang sedang dibahas saat itu. “Males banget ama nih guru.. Mending aku minta dijelaskan ama guru lesku aja ..”, begitu pikir si anak.
Dan mungkin masih ada alasan yang lain.
Yang saya tangkap adalah peran seorang guru les lebih diandalkan daripada seorang guru di sekolah. Meskipun tidak semua anak berlaku demikian, tapi menurut pengamatan saya jumlahnya tidak sedikit. Guru les sudah menjadi keharusan bagi si anak. “Ma, aku mau les Matematika dan Fisika. Guru lesnya sama dengan Aya aja ya. Kata Aya guru lesnya dia baik, menjelaskannya enak.” Dan orang tua pun setuju dan sangat mendukung. Ketika guru les tidak bisa hadir padahal keesokan harinya ada tes atau ujian, maka siswa menjadi kalang kabut dan kebingungan. Dan saya melihat ini sudah menjadi suatu ketergantungan. Padahal kalau guru tidak hadir di kelas, maka siswa justru akan merasa senang dan terbebas. Ironis ya ... (Apakah saya lebih baik jadi guru les, supaya kehadiran saya selalu dinanti-nanti ?? Hehehe ...)
Sebagai seorang guru hal ini menjadi catatan penting buat saya. Bagaimana mungkin seorang guru les bisa menjadi sosok yang lebih penting dari guru di sekolah dalam hal memberikan ilmu pengetahuan ? Bukankah itu sebenarnya tugas kita sebagai seorang guru ? Pada kenyataannya guru les bisa membuat si anak “tenang” dalam menghadapi ujian atau tes di sekolah. Hal ini menambah deretan tugas kita sebagai seorang guru. (Tambah lagi??? #sambil tepok jidat.. Hehehe...)
Bagaimana cara kita, sebagai seorang guru, menumbuhkan kepercayaan diri pada siswa dalam hal belajar di rumah (tidak perlu tergantung dengan guru les) ? Sehingga anak mampu belajar mandiri di rumah dengan bekal ilmu yang sudah didapatkan di sekolah (bukankah demikian idealnya ???). Terlebih lagi saat ini internet sudah menjadi bagian hidup siswa masa kini. Siswa bisa mencari artikel ataupun latihan-latihan soal sebagai bahan belajar mandiri.
Bagaimana cara kita, sebagai seorang guru, mampu membuat siswa mau bertanya kepada kita ketika mereka tidak memahami atau mengerti tentang penjelasan kita. Mari kita jadikan “Mau Bertanya” itu sebagai budaya di kelas.
Bagaimana cara kita, sebagai seorang guru, mampu membuat siswa mau bereksplorasi sendiri dengan ilmu dasar yang sudah diperolehnya di kelas. Sehingga siswa dapat berkembang secara mandiri tanpa menunggu “umpan” dari seorang guru les.
Demikian sekelumit tulisan hasil dari “intropeksi diri” menjelang Hari Guru... Kiranya sumbangsih teman-teman tentang artikel ini dapat menjadi tambahan wawasan bagi kita semua .. Salam Guru Indonesia ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H