Secara etimologis, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, lokal berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat juga dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu (Ernawi 2009:7).
Nilai Kearifan Lokal di
Keraifan lokal juga usaha untuk menemukan kebenaran yang didasarkan pada fakta-fakta atau gejala-gejala yang berlaku secara spesifik dalam budaya masyarakat tertentu (indegeneous psychology). Hasil akhir dari indegenouse psycology adalah pengetahuan yang menggambarkan tentang kearifan lokal, yaitu gambaran mengenai sikap atau tingkah laku yang mencerminkan budaya asli.
Sampai saat ini nilai-nilai budaya Suku Tengger masih dipegang teguh oleh masyarakat, baik yang berhubungan dengan umum maupun yang berhubungan dengan diri sendiri. Modernisasi yang masuk bersamaan dengan interaksi yang mereka lakukan tidak mampu melunturkan identitas diri mereka. Identitas tersebut begitu melekat dengan jiwa mereka, misalnya dipakainya sarung kemana saja pergi, berpegang teguh pada ajaran welas asih pepitu, 20 wasiat, melakukan berbagai ritual adat, dan lain sebagainya.
Budaya yang telah melekat pada diri mereka dipandang sebagai suatu kumpulan pola-pola tingkah laku manusia dengan bersandar pada daya cipta dan keyakinan untuk keperluan hidup, sehingga budaya warisan leluhur masih terjamin keasliannya hingga sekarang. Budaya warisan tradisi nenek moyang tersebut dibedakan menjadi, ritual atau upacara adat yang berhubungan dengan siklus kehidupan, upacara yang berkaitan dengan budaya masyarakat, dan upacara yang berkaitan dengan siklus alam. Diantara kegiatan upacara adat terselip kegiatan keagamaan. Dalam kegiatan upacara tersebut terungkap indeksikalitas baik secara eksplisit maupun implisit. Penggunaaan Indeksikalitas merupakan cerminan dari penggunaan Etnometodologi.
Nilai kearifan lokal di masyarakat Suku Tengger Desa Ngadisari didasarkan pada konsep hidup masyarakat Suku Tengger yang didasarkan pada hubungan tiga arah yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam (tryadic relationship).
Hubungan manusia dengan Tuhan diwujudkan dengan ketaatan beribadah sesuai agama hindu dan melakukan berbagai upacara adat budaya. Sedangkan hubungan manusia dengan manusia diwujudkan dengan sikap hidup sesanti panca setia, guyub rukun, sanjan-sinanjan(saling mengunjungi), sayan(gotong royong,saling bantu membantu) yang didasari semboyan “sepi ing pamrih, rame ing gawe”, dan genten kuat(saling tolong menolong). Terakhir, hubungan manusia dengan alam diwujudkan dengan melakukan berbagai upacara adat yang berkaitan dengan siklus alam dan juga melakukan pemeliharaan alam.
Selain konsep hidup yang dijelaskan di atas masyarakat Suku Tengger mempunyai pandangan hidup prasaja berarti jujur, tidak dibuat-buat apa adanya; prayoga berarti senantiasa bersikap bijaksana; pranataberarti senantiasa patuh pada raja, berarti pimpinan atau pemerintah; prasetya berarti setya; prayitna berarti waspada.
Nilai kearifan lokal yang dapat di identifikasi dalam kehidupan masyarakat Suku Tengger diantaranya: ramah tamah, kepatuhan (setuhu), guyubrukun, sanjan-sinanjan(tolong menolong),gotong royong (sayan), dan kejujuran (prasaja). Berbagai nilai kearifan lokal tersebut mewarnai seluruh kehidupan masyarakat Suku Tengger. Dalam penelitian ini, nilai kearifan lokal yang akan dijelaskan adalah nilai yang terinternalisasi dalam proses penganggaran.
Internalisasi Nilai Kearifan Lokal dalam Penganggaran
Nilai kearifan lokal yang terinternalisasi dalam proses penganggaran dapat teridentifikasi menjadi tiga yaitu nilai kepatuhan (setuhu), nilai kegotongroyongan (sayan), dan nilai kejujuran (prasaja). Nilai kepatuhan atau setuhune wong tengger diwujudkan dengan tetap melakukan mekanisme proses perencanaan penganggaran dan mengikuti jadwal dan tahapan yang telah ditetapkan pemerintah meskipun sesungguhnya mekanisme tersebut sudah dilakukan.