Mohon tunggu...
Ana Setiyani
Ana Setiyani Mohon Tunggu... Petani - Penikmat waktu

Masih sangat cinta dengan budaya dan alam Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Masih tentang Natuna dari Perspektif Rakyat Biasa

10 Januari 2020   22:51 Diperbarui: 10 Januari 2020   23:04 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Ketika mendengar kata Natuna, tidak tahu kenapa otak langsung mengingat nama Bu Susi. Tragedi tenggelam dan diledakkan sempat ramai disana. 

Pada masa itu setiap kali berita dan artikel yang membahasnya hanya selalu terbaca judulnya, lewat begitu saja Hati ini belum tergerak untuk mencari tahu ada apa sebenarnya di Natuna. 

Hingga beberapa waktu lalu, ketika Bu Susi sudah berganti dengan Pak Edi, kabar tentang Natuna kembali lagi bergema. Kali ini barulah rasa penasaran muncul. Kucoba telisik darimana asal mulanya. 

Ternyata oh ternyata, kisah ini bukan hanya dialami oleh Indonesia dan sudah lama. Jika merunut ke sejarahnya. Pengakuan akan adanya Laut China Selatan terhitung sejak tahun 1947. Beberapa negara di Asia Tenggara pun juga menjadi "korban" atas perilaku China yang bisa dikatakan se-enaknya. 

Philipina adalah salah satu dari beberapa negara yang bersinggungan dengan garis abstrak Laut China Selatan. Perjuangan melawan akuan China atas wilayah Laut Philipina pun telah dibawa hingga pengadilan Internasional.

 Hasilnya pun memang Philipina yang berhak secara hukum Internasional atas wilayah tersebut. Garis batas Laut China Selatan tidak lebih dari sejarah yang diturunkan dari nenek moyang. 

Semenjak adanya hukum Internasional, itulah yang harus disepakati dan ditegakkan bersama. Apalagi China juga termasuk anggota di dalam perserikatan Internasional tersebut. 

Sudah menang melawan China, tenang dong seharusnya. Namun tidak pada kenyataannya. China tetap bersikeras bahwa memiliki hak atas sebagian wilayah laut Philipina. 

Tak tanggung-tanggung China menurunkan kapal-kapalnya untuk berjaga agar penduduk Philipina tidak mendekat. Lebih parahnya, mereka membangun pulau dan menempatkan orang di pulau tersebut. 

Di tengah kekayaan alam wilayah "9 dash line" itu, China tidak mau kehilangan begitu saja. Dengan limpahan materi dan kekuatan militer yang dimiliki, China semakin percaya diri. 

Kembali ke Indonesia. Sebagai penduduk yang hanya mampu berdo'a demi keselamatan bangsa dan negara, mendengar cerita Natuna beberapa waktu terakhir sedikit menggugah hati dan pikiran saya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun