Mohon tunggu...
Nur Ana Sejati
Nur Ana Sejati Mohon Tunggu... pegawai negeri -

PNS, Blogger, Ibu tiga anak, mahasiswa tinggal di Melbourn, tertarik pada masalah kinerja pemerintah daerah, pengelolaan, keuangan daerah, sistem pengendalian intern pemerintah, dan bermimpi menjelajah kota-kota dunia... silakan mampir juga di blog pribadi www.anasejati.wordpress.com atau www.warungkopipemda.com bagi pemerhati masalah pemerintahan daerah

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kenapa Venezuela Gagal dan Singapura Berhasil?

29 Januari 2014   13:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:21 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Balanced-Scorecard, sebagaimana namanya, mencoba menyeimbangkan antara penyajian aspek finansial dan non finansial. Menurut Kaplan dan Norton, aspek-aspek tersebut adalah:

Financial atau keuangan: ya..seperti sebelumnya disini aspek keuangan yang dinilai. Dalam konteks perusahaan aspek finansial ini lebih menekankan bagaimana perusahaan di mata para pemegang saham. Tentu, dari aspek profitnya. Di sektor publik, aspek finansial bisa di lihat dari sisi bagaimana instansi pemerintah mendapatkan pendanaan. Atau, bagaimana instansi pemerintah membiayaai program-programnya.

Customer atau pelanggan: aspek ini mencoba menjawab "How do customers see us?" atau apa pendapat pelanggan perusahaan. Kalau di perbankan bisa kita contohkan dari seberapa ramah customer service dalam melayani, seberapa cekatan teller, atau seberapa responsif bagian pengaduan layanan menghadapi komplain-komplain.

Internal business processes atau proses binis internal: berfokus pada proses penyediaan layanan. Misalnya, seberapa efektif standar dan prosedur operasi yang disusun dan apakah sistem informasi yang dibangun mendukung kecepatan layanan.

Learning and growth: nah, ini yang paling saya sukai. Aspek ini menekankan pada "How can we continue to improve, create value and innovate?". Intinya bagaimana organisasi mendukung pada pembentukan SDM yang mumpuni.

Keempat aspek Balanced-scorecard tersebut menjadi bagian penting dari informasi yang harus diketahui oleh manajemen. Sehingga, di butuhkan alat ukur untuk menilai bagaimana organisasi menangani pelanggan, cara organisasi menjalankan proses bisnisnya, serta komitmen organisasi terhadap pengembangan sumberdaya manusia. Dan terakhir, bagaimana akhirnya ketiga aspek tersebut terintegrasi dan mendukung pencapaian hasil akhir berupa profit atau aspek finansialnya. Hal ini tentu dalam beberapa hal berbeda dengan organisasi sektor publik dimana aspek finansial tidak diletakkan pada ujung cerita, melainkan di awal ataupun di tengah-tengahnya.

Dalam banyak hal balance scorecard lebih sering dipahami dan digunakan sebagai alat ukur kinerja. Artinya, penerapan balanced-scorecard terbatas digunakan pada saat melakukan pengukuran kinerja. Tidak begitu salah sebenarnya. Hanya saja penggunaan balanced-scorecard sebatas pada pengukuran kinerja sebenarnya justru melemahkan keampuhan konsepnya sendiri. Padahal, jika balanced-scorecard dipahami dan digunakan sebagai bagaian dari strategi perusahaan, wow....

Kembali pada cerita saya di atas, seandainya saya dan sahabat saya memiliki teknik dan kemampuan fotografi yang baik tentu cerita kami bisa lebih dahsyat. Atau, foto-foto tersebut bisa jadi akan menambah berat pundi-pundi kami karena beberapa jasa travel membelinya untuk iklan. Hal ini senada dengan pernyataan Kaplan dan Norton di bagian Introduction yang saya rasakan begitu menohok. Mereka katakan “What’s true of companies is even truer for countries. Some countries such as Venezuela and Saudi Arabia, have high physical resource endowments but have made poor investments in their people and systems. As a consequence, they produce far less output per person, and experience much slower growth rate, than countries such as Singapore and Taiwan that have few natural resources but invest heavily in human and information capital and effective internal systems

Untunglah Kaplan dan Norton tidak menyebut Indonesia. Mungkin karena jaraknya lebih jauh dari Amerika dibanding kedua negara yang ia sebutkan hingga tak terfikirkan.Venezuela disebut mbah Wiki sebagai negara dengan extremely high biodiversity. Venezuela juga disebut pernah sebagai negara pengekspor minyak terbesar dunia dengan persediaan minyak terbesarnya. Sayangnya setelah mengalami krisis minyak akibat menurunnya permintaan minyak dunia di tahun 1980 akibat krisis global Venezuela didera masalah tak berkesudahan. Negeri tersebut dibelenggu hutang, inflasi meningkat 100% di tahun 1996 dan kemiskinan pun mencapai angka 65% di tahun 1995. Meski sempat sedikit membaik di tahun 2001, ekonomi Venezuela sepertinya terus terguncang. Inflasi november 2013 kabarnya mencapai 54%.

Venezuela juga dikenal dengan tingginya tingkat korupsi. Bahkan penemuan minyak justru dianggap memperparah korupsi. Akhir 1970an Juan Pablo Pérez Alfonso's, diplomat dan politisi negara tersebut, menganggap minyak sebagai "the Devil's excrement". Venezuela juga menjadi rute perdagangan narkoba. Kasus pembunuhan juga sangat tinggi, bahkan menempati salah satu tertinggi di dunia. Tahun 2009 tingkat pembunuhan mencapai 57 per 100,000.Hmmmm....

Bagaimana dengan Saudi Arabia? Sebenarnya menyandingkan Venezuela dengan Saudi Arabia tidaklah terlalu tepat menurut saya. Kondisi yang ada Saudi Arabia tetap menjadi negara kaya dengan rakyatnya yang makmur. Jika ukuran yang digunakan adalah GDP maka sebagaimana yang dinyakan mBah Wiki, negara ini menempati urutan 19 di dunia. Kalau definisi dari GDP adalah output perorang yang dihasilkan oleh satu negara maka seharusnya negara ini berbeda jauh dengan Venezuela. Bisa jadi dalam hal ini Kaplan dan Norton menggunakan aspek investasi sumber daya manusia yang mungkin lebih rendah dibandingkan investasi pada infrastruktur. Hmmm perlu saya telusuri lagi. Dalam diskusi masalah pembangunan ekonomi Saudi Arabia memang jarang dijadikan perbincangan. (Lagi2 bisa jadi saya yang blum sempat membaca literature soal ini. PR baru buat saya). Atau, bisa jadi  GDP tinggi di Saudi dianggap biasa karena topangan sumber daya yang meelimpah. Berbeda kalau yang dibincangkan adalah Singapura, Swiss atau Jepang yang lebih mengandalkan sumberdaya manusia. Wajar pula barangkali. Kita tentu tidak tertarik memperbincangkan kisah sukses seseorang yang dari sono-nya memang sudah kaya. Sebaliknya, kita akan antusias saat membaca bagaimana orang-orang dari kalangan bawah bisa menggapai mimpinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun