Mohon tunggu...
anasari pratiwi
anasari pratiwi Mohon Tunggu... -

membaca untuk menulis menulis untuk dibaca

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Misteri Alam, Mistis, dan Spiritual dalam Pelukan Cincin Api

16 November 2011   06:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:36 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi teman-teman yang telah sering melakukan pendakian gunung. Pasti setidaknya pernah mengalami hal-hal yang tidak kita temui di kehidupan kita sehari-hari. Pengalaman spirituil baik itu yang dirasakan secara langsung ataupun dirasakan sesudah pendakian, akan selalu kita ingat dalam proses pembelajaran diri, terutama yang sudah kita rasakan. Penghargaan akan keberadaan teman, menjaga kelestarian lingkungan pegunungan dan puji syukur kepada Tuhan atas kesehatan ataupun rejeki yang kita terima hingga saat ini merupakan hal positif yang bisa kita rasakan tatkala mengingat perjalanan mendaki gunung.

Pengalaman yang berkesan tentunya dalam perjalanan banyak teman (saya juga) mengalami pengalaman spirituil yang mana terkadang tidak kita harapkan tentunya. Sebut saja pengalaman salah seorang kawan kompasiana yang sering melihat penampakan kakek tua, ataupun pengalaman melakukan perjalanan mendaki ditemani .’teman halus’ dan adanya pasar makhluk halus (baca : Gunung Arjuno, Gunung Welirang antara Misteri peninggalan purbakala dan Kekayaan Alam Batu Kuning). Dan masih banyak lagi kejadian-kejadian yang berbau mistis yang dialami dari berbagai pendakian yang dilakukan kawan-kawan lainnya.

Pengalaman yang tak pernah akan pernah saya lupakan adalah saat mendaki gunung Panderman, di Malang. Gunung Panderman sendiri lebih menyerupai wilayah perbukitan di daerah kota Dingin, Batu (+ 55km dari kota Malang, Jawa Timur).

Menantang Alam

Saya dan beberapa teman memutuskan mendaki gunung Panderman pagi-pagi sekali dengan membuat jalur pendakian sendiri, dengan maksud menantang diri (dan teman lainnya) dikarenakan medan pendakian yang sudah ada terasa sangat mudah dan kurang menantang. Tanpa bekal kompas sebagai penunjuk arah, kami mendaki dengan semangat dengan harapan sebelum malam tiba kami sudah sampai di puncak. Menebas tanaman dan membuat jalur jalan bergiliran kami lakukan dan lumayan menyita waktu dan tenaga.

Seekor monyet di bawah pohon tua

Karena hari yang cukup terik, kami memutuskan untuk beristirahat di bawah sebuah pohon tua yang amat besar. Tepat jam 11.12 Kami makan, minum sambil bercanda dan tanpa sadar seorang teman bercanda dengan monyet yang memang banyak terdapat di sekitar hutan dengan melemparkan botol minuman yang masih berisi ke arah monyet itu. Monyet itu tak menghindar dan botol itu tepat mendarat di mukanya. Monyet itu pergi namun sebelum pergi, matanya tajam menatap kearah kami. Saat itu kami tidak sadar dengan apa yang telah kami lakukan dan menertawakan kejadian itu. Dansetelah beristirahat kamipun melanjutkan perjalanan.

Tanpa terasa waktu bergulir, gelap menyelimuti seluruh pandangan kami padahal jam di tanganku masih menunjukkan pukul 14.33. Tetes embun pegunungan makin menyempitkan jarak pandang kami. Jangankan untuk melihat jauh ke depan untuk menentuksn posisi puncak gunung, melihat teman yang berada di depan pun susah. Dan siang yang tadinya begitu terik berubah gelap yang makin lama semakin pekat dan tanda-tanda menuju puncakpun tak kelihatan sama sekali, yang ada hanya di hadapan kami adalah makin lebatnya hutan dan tanaman belukar yang menghadang. Menyadari tingkat kesukaran ini, kami putuskan untuk kembali turun dan menyudahi pendakian. Setelah beberapa saat menuruni jalur yang kami buat, kami menghadapi jalan tadi telah tertutup belukar.

Tersesat dan Hilang Kepercayaan

Kami berkesimpulan kami tersesat dari jalur tadi, dan hal itu mungkin wajar karena gelapnya hutan dan terbatasnya pandangan. Namun dalam hatiku (dan teman yang lain juga) merasakan ada sesuatu yang tak beres. Tak berselang lama, hujan gerimispun mengguyur kami. Hujan yang seharusnya kami syukuri karena sebelumnya panas terik yang menyiksa kepala dan tubuhnya, membuat badan dan hati kami menggigil. Kamipun memutuskan untuk menuruni dengan membuat jalur baru. Namun kami hal itulah, temanku yang terdepan hampir jatuh ke dalam tebing yang curam. Tanpa disadarinya, teman itu menebas tanaman yang di belakangnya tepat mulut jurang. Kengerian mencekam kami, dan segera kami memutar arah pendakian. Dan lagi-lagi terbatasnya jarak pandang dan tak adanya penunjuk arah, kami tiba tepat di bawah pohon tua besar tempat waktu kami istirahat tadi.

Akhir yang Bahagia

Waktu di jam tanganku menunjukkan pukul 16.48, waktu terasa melambat dan begitu menyiksa. Bukan saja karena kelelahan fisik yang terkuras namun juga spirituil yang terasa dibebani oleh sesuatu yang amat berat namun tak tampak. Kesunyian melanda deras di bathin dan pikiran kami masing-masing. Nafas yang terengah menambah kelelahan dan kondisi fisik yang menurun. Tiba-tiba salah seorang teman menyarankan untuk berdoa dengan agama masing-masing. Dan beberapa teman melakukan sholat berjamaah untuk meminta petunjuk atas musibah ini. Akupun tak pernah merasa se-khusyuk ini dalam berdoa sebelumnya.

Setelah berdoa hatiku terasa tenang, badanpun terasa lebih fit untuk melanjutkan perjalanan. Kami putuskan menuruni dengan arah yang berbeda. Perjalanan terasa lambat dan menyiksa. Pembuatan jalur baru memakan tenaga dan pikiran. Ke hati-hatian adalah faktor yang terpenting saat ini.

Waktu tak terasa menunjukkan pukul 17.18 saat hujan berhenti dan pandangan kamipun mulai jelas. Embun gunung menghilang tak berbekas berganti sinaran keperakan dari matahari yang menembus pucuk daun yang basah oleh air hujan. Kami dapat melihat jalur pendakian utama. Kami bersyukur dan segera memuji nama Tuhan. Dan tak sedikit dari teman-teman lelaki menangis haru bercampur bahagia. Lelah semua sirna berganti bahagia. Dan dengan semangat yang berlipat kami segera menuruni gunung melalui jalur utama. Saking gembiranya kami tak sadar diperhatikan oleh teman-teman pandaki lainnya yang sedang menuruni gunung juga. Namun tak kami pedulikan yang terpenting bagi kami adalah betapa bersyukurnya kami dapat pulang dengan selamat. Rasa gembira itu bahkan hingga detik ini masih terasa, jauh lebih manis dari menang lotre/ undian berhadiah dengan hadiah sebesar apapun di dunia ini.

Jaga Alam = menghindari Bencana

Sebagai kesimpulannya tiada lain adalah keterbatasan manusia di hadapan alam dan Tuhan. Kita bisa berusaha sekuat tenaga namun tak akan ada artinya tanpa seijinNya. Untuk meminta ijinNya kita bisa berkomunikasi dengan berdoa dan sholat dengan segala kemampuan kita. Dan untuk selanjutnya hargailah alam dan seluruh isinya karena dengan menjaga alam, kita menjaga diri kita dari berbagai bencana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun