Nilai Sumpah Pemuda untuk Bonus Demografi 2045
Bonus demografi pada 2045 mendatang merupakan berkah tersendiri bagi Indonesia. Diprediksi pada tahun itu 70 persen penduduk berada di usia produktif yakni di usia 15-64 tahun, 30 persen sisanya di usia 14 tahun ke bawah atau 65 tahun keatas, tak produktif. Tentu saja tidak lah mudah, dalam memanfaatkan ini.
Pada sumpah pemuda ke 94 ini, menjadi momentum penting untuk mengembalikan nilai-nilai luhur para pendiri bangsa. Bonus demografi harus menjadi penyemangat pemuda kekinian dengan mengambil nilai sumpah pemuda 28 Oktober 1928 silam. Semangat juang yang tumbuh kala itu  kegotongroyongan, patriotisme, cinta tanah air, kekeluargaan, persatuan, cinta damai, dan tanggung jawab.
Terbukti dari poin penting di dalam ikrar itu, tak lain ialah menyatukan keragaman etnis dan golongan. Munculah tiga frasa penting yakni tumpah darah satu Indonesia, berbangsa satu Indonesia, berbahasa satu yakni bahasa Indonesia.
Tentu nilai ini tak akan hilang, jika pemuda kita optimis, dan siap bersaing pada 2045 mendatang. Persiapan utama ialah penguatan SDM yang mumpuni. SDM menjadi penting bukan hanya kemampuan intelektual tapi pada aplikasi di lapangan. Tidak hanya mampu di atas kertas tapi pada pelaksanaan di masyarakat.
Si ahli teknologi kini mulai menunjukkan kemampuan itu, dan mereka mampu bersaing raksasa teknologi global. Sebut saja pendiri Go Jek Nadiem Makarim, dan Buka Lapak  Achmad Zaky, Nugroho Herucahyono, dan Fajrin Rasyid. Mereka semua anak muda.
Pasti bangga dengan mereka, duitnya muter-muter di negeri sendiri dan yang kaya kaum pribumi. Ini berkah kecerdasan membaca peluang dan mengimplementasikan ilmu yang di miliki.
Menghadapi 2045 musuh terberat ialah teknologi informasi. Segala sesuatunya jadi mudah, tapi menjadi bumerang buat para  milenial. Mereka memiliki kecenderungan tak mendalami suatu persoalan. Inginnya masalah dapat di entaskan dengan cepat layaknya dunia klik bet. Sekali klik muncul solusi.
Sikap ingin cepat ini sangat baik, bukan berarti meninggalkan yang utama. Misalnya si A pengin informasi hukum. Karena penasaran mencari di laman pencarian, tak sampai satu menit apa yang diinginkan muncul. Dari situ dijadikan dasar untuk menahami hukum padahal ia tak sedang berkuliah di hukum. Sekali klik tadi tidak diimbangi dengan pengetahuan lainnya untuk memaknai setiap soal itu.
Ujungnya hanya sudut pandang pribadi, dan keyakinan diri sendiri. Untuk memperkuat keyakinannya atas itu si A mencari komentar yang bersesuaian dengan jalan pikirannya. Dengan demikian ia sudah tak lagi mau menerima informasi sebelahnya. Akhirnya muncul pembenaran diri sendiri.
Soal ini menjadi contoh yang lumrah kita jumpai di kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, kesadaran akan bahaya teknologi informasi mesti diimbangi dengan pola pendidikan yang modern. Praktisi maupun para ahli pendidikan pasti sudah membaca akan risiko ini.
Jalan utama ialah menempuh pendidikan  reguler dan memperkuat literasi. Kedua hal ini penting agar tak mudah terbawa arus dan puas akan informasi yang sepotong.
Kesadaran pependidikan gotong royong penting untuk memperkuat kecerdasan otak dalam menelaah informasi. Biar tak ujuk-ujuk menyimpulkan dan menghakimi setiap persoalan. Penulis tak melarang orang membaca via internet, hanya saja mesti dimanfaatkan dengan baik.
Penulis: Anas Abdul Kadir
Tana Paser, 28 Oktober 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H