Gema takbir tak berhenti, setelah salat maghrib tadi. Semua umat muslim di dunia sedang merayakan hari kemenangan. Dengan selalu mengucap kebesaran sang Ilahi.
Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar...
Terus menggema, dan saling sahut di udara, nyaris tak ada berhenti sepanjang menit. Beginilah nuansa lebaran Iduladha di kampung halamanku, tepatnya di Desa Bukit Seloka, Kecamatan Long Ikis, Kabupaten Paser.
Selama dua kali lebaran di dua tahun sebelumnya, gema takbir tetap terdengar. Namun masyarakat banyak sekali, yang mengeluh mengganggap lebaran di tahun itu, tak sama dengan lebaran biasanya.
Tidak lain, disebabkan Pandemi Covid-19, yang bukan main mengerikan. Membunuh jutaan jiwa di seluruh dunia.Â
Virus yang pertama kali muncul di Wuhan, China 2019 silam itu, hanya beberapa bulan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Luar biasanya, jika Allah berkehendak. Sehebat apapun teknologi mu, tetap dibuat kelimpungan tak karuan. Segala macam aspek kehidupan lumpuh total.
Negara-negara super power semacam Amerika, yang tak karuan banyaknya tenaga medis dengan berbagai keahlian saja tak berkutik. Kuasa illahi tak bisa di lawan oleh umat manusia, ika Ia berkehendak apapun bisa terjadi.Â
"Kun faya Kun".
Atas izin-Nya juga, berbagai penelitian tentang bagaimana menekan laju sebaran juga ditemukan. Itulah sekulimt kisah mengenang dua tahun lalu, meskipun hingga sekarang perang dengan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) belum berhenti.
Saat Covid-19 baru masuk ke Indonesia, kebijakan pembatasan interaksi sosial juga diberlakukan mulai jaga jarak, pakai masker, cuci tangan, tidak berkerumun pun dilakukan. Yang lebih getir saat itu, sampai pada urusan peribadahan juga di atur oleh pemerintah. Padahal sebelumnya urusan itu, privat.Â
Berbagai pertimbangan para ahli, dan para ulama, salat jamaah pun di buat jarak. Tidak usah salat Ied di Masjid, mending di rumah saja. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak lain dimaksudkan untuk menjaga kesehatan warganya.Â