budaya, dan kolonialisme. Penulis tampak terpengaruh oleh pemikiran sosiolog Syed Hussein Alatas, terutama konsep captive mind, yang sering diangkat dalam karya-karyanya. Penulis juga mengaitkan topik ini dengan wacana pascakolonial dan dekolonialisme, menunjukkan kedalaman pemahaman terhadap isu-isu kebahasaan dan identitas. Dengan wawasan ini, penulis berusaha memperingatkan tentang dampak dominasi bahasa Inggris terhadap bahasa Indonesia dan pemajuan kebudayaan nasional.
Esai "Sensasi Indonengslish vs Pemajuan Kebudayaan" karya seorang penulis yang merupakan dosen saya sendiri pada mata kuliah Sosiologi Modern ini memiliki latar belakang akademis yang kuat dan kepekaan terhadap dinamika bahasa,Esai ini menyoroti fenomena Indonenglish, perpaduan bahasa Inggris dan Indonesia dalam percakapan sehari-hari yang semakin menyebar di masyarakat Indonesia. Penulis berargumen bahwa ini bukan sekadar tren linguistik, melainkan produk dari mentalitas yang telah dijajah oleh budaya dan standar Barat. Bahasa Inggris dianggap sebagai simbol modernitas dan keunggulan, yang ironisnya, justru menggeser bahasa nasional sendiri.
Selain mengangkat Indonenglish, penulis menyentuh konsep-konsep lain yang relevan. Beberapa di antaranya termasuk budaya populer, yang berperan besar dalam penyebaran fenomena ini, dan bahasa sebagai identitas nasional, yang menurut penulis harus dilindungi dari pengaruh luar. Di sisi lain, penulis memperkenalkan istilah captive mind dari Alatas, yang menggambarkan kondisi mental masyarakat yang terjebak dalam pengaruh kolonial tanpa mereka sadari. Penggunaan istilah ini memperkuat pandangan penulis bahwa fenomena bahasa adalah bagian dari dampak yang lebih luas dari kolonialisme budaya. Penulis juga menyebutkan dekolonialisme, sebuah proses yang bertujuan untuk membebaskan diri dari warisan dan pengaruh kolonial.
Beberapa istilah yang digunakan dalam esai ini mungkin sudah sering terdengar oleh telinga saya, seperti Inferior, yang mengacu pada perasaan seseorang yg merasa rendah diri terhadap bangsa atau orang lain. Istilah budaya populer juga cukup umum pembahasannya, terutama dalam konteks bagaimana artis dan selebriti membentuk pola gaya hidup dan komunikasi anak muda saat ini yang dikenal juga dengan istilah "Standarisasi tiktok".
Di sisi lain, esai ini memperkenalkan istilah yang mungkin tidak begitu familiar bagi saya, seperti captive mind, yang menurut Alatas menggambarkan pikiran yang terkurung oleh pengaruh kolonial dan tidak sadar akan ketergantungan tersebut. Penulis juga menyebut istilah subculture, yang mengacu pada budaya-budaya kecil yang berkembang di dalam budaya besar, sering kali mencerminkan karakteristik yang berbeda dari norma umum.
Bagi saya, ada bagian dari esai yang kurang menarik, terutama pada pengulangan konsep captive mind. Meskipun konsep ini relevan, esai tampak terlalu lama berfokus pada hal tersebut tanpa memberikan variasi argumen atau perspektif baru yang lebih menarik bagi pembaca.
Di sisi lain, esai ini layak diapresiasi karena berani mengangkat isu penting tentang bahasa dan budaya dalam konteks Indonesia yang sedang mengalami globalisasi. Kritik penulis terhadap Indonenglish dan perhatian terhadap identitas bahasa Indonesia sebagai produk kebudayaan nasional cukup penting, terutama dalam menghadapi arus besar pengaruh budaya luar. Esai ini mengingatkan pentingnya peran bahasa dalam menjaga identitas dan kedaulatan budaya bangsa, serta mendorong pemerintah dan masyarakat untuk lebih memperhatikan nasib bahasa Indonesia di masa depan.
Dengan latar belakang akademis yang kuat, penulis mampu menawarkan perspektif yang kritis dan mendalam mengenai isu kebahasaan ini. Ia tetap berhasil membuka dialog penting mengenai masa depan bahasa Indonesia di tengah pengaruh budaya global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H