Tulisan ini merupakan pengalaman pribadi penulis yang diperoleh saat melaksanakan kegiatan KKN (Kuliah Kerja Nyata) pada salah satu desa di Bali. Tulisan ini juga turut untuk memperingati hari anak nasional pada 23 Juli.
Kegiatan KKN dilaksanakan pada bulan Juli 2022 lalu. Banyak kisah cerita yang saya dan teman lainnya dapatkan. Namun, saya tidak mau bahas itu semua dalam tulisan kali ini. Karena ada hal penting yang ingin saya bagi, yakni mengenai kehidupan dan pendidikan anak yang tersembunyi.
Kesan pertama, saat saya dan teman lainnya menginjak kaki di desa itu. Kami mendapat perlakuan yang dinilai tidak sopan oleh anak-anak di desa. Baru pertama bertemu, Â mereka langsung cenderung menggunakan kalimat yang kotor dan kasar dalam berkomunikasi. Lebih parahnya lagi mempertanyakan area vital sebagai topik yang mereka bahas.Â
Namun, itu tidak semuanya. Hanya beberapa dari mereka.
Di samping itu, mereka juga tidak segan untuk masuk tanpa izin ke dalam area posko kamar. Yang seharunya itu adalah tempat privasi. Akhirnya, terpaksa hal tersebut kami laporkan kepada Kepala Desa.
Beliau sangat menyayangkan kejadian tersebut. Namun, apa boleh buat beliau juga memberikan tanggapan untuk memakluminya. Pak Kades menambahkan bahwa anak-anak tersebut kurang dalam kasih sayang orang tua, sehingga ketika ada orang baru yang masuk desa mereka (anak-anak itu) ingin mendapat suatu perhatian.
Rasa Kasih Sayang
Anak-anak yang kekurangan kasih sayang akan berusaha untuk mencari perhatian semaunya. Pernyataan itu memang menjadi kejelasan terhadap apa yang saya dan lainnya alami saat itu. Hal ini juga termasuk perilaku nakal yang ingin mencari sensasi serta untuk mendapat pengakuan.
Tidak banyak anak di sana yang selalu menggunakan kekerasan atau bahkan kekuasaan akan keberadaannya sebagai bentuk perlawanan. Tidak segan, mereka langsung menaikkan lengan baju menandakan siap melawan. Berbagai cara kami lakukan untuk menengahi perkelahian. Namun, lagi-lagi hal itu harus dimaklumi.
Pandangan saya sungguh dilema saat itu. Karena saya pun belum begitu memahami bagaimana menjadi orang tua dan rasanya memiliki seorang anak. Bagaimana rasa sayang mampu mempengaruhi tumbuh kembang anak.Â
Kebanyakan dari mereka (anak-anak itu) adalah anak-anak yang berasal dari keluarga broken home. Itu informasi yang kami terima. Entah karena faktor ekonomi, sehingga para orang tua harus fokus mencari uang tanpa memedulikan tumbuh kembang anaknya. Ataukah para orang tua belum mempunyai kesiapan untuk mendidik anak mereka, sehingga tidak tahu harus berbuat apa.
Suatu pandangan lain juga menyatakan bahwa karena pergaulan orang sekitar. Anak-anak itu tidak mempunyai contoh (model) baik yang dijadikan pedoman dalam hidup. Biasanya, seorang ayah lah yang sering digadang-gadang sebagai idola dalam bertindak. Tapi, juga bisa karena sosok idola itu yang mempengaruhi kehidupan anaknya.
Pemikiran ini sangat rumit untuk dijelaskan. Apalagi bagi saya dan teman lainnya saat ini masih berstatus sebagai mahasiswa.
Anak Bernama Ferdy
Saat itu, kami mengadakan program les privat untuk anak-anak yang diadakan di Balai Desa. Kami mengajarkan semua mata pelajaran dan juga membantu mereka ketika memiliki tugas rumah untuk dibahas bersama.
Dari sekian anak di Balai Desa itu, ada anak yang bernama Ferdy. Ia adalah murid SD kelas V yang bahkan hingga kini belum bisa membaca tulisan. Sontak salah satu teman saya ambil alih untuk mengajarinya membaca. Akan tetapi, hasilnya tidak jauh berbeda.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa pihak sekolah tetap memutuskan "naik kelas" jika diketahui belum bisa pandai dalam membaca?
Ya, tentu saja alasannya adalah "asal lulus saja".
Membaca merupakan hal yang esensial untuk dimiliki. Untuk ukuran kelas V SD sendiri namun belum pandai dalam membaca adalah hal yang tidak jarang terjadi. Dulu pun di zaman saya tahun 2005 saat masih kelas V, salah satu teman saya juga demikian. Alasan yang diberikan ya sama, asal lulus saja.
Pihak sekolah tidak mau pusing untuk melanjutkan dengan metode apa lagi yang harus diterapkan agar siswanya mampu membaca. Alih-alih mendapat mukjizat, asalkan lulus saja itu sudah memuaskan para guru bahkan orang tuanya. Dan terkadang, anak itu pun justru bersyukur bisa lulus tanpa harus berusaha mati-matian dalam mengeja.
Rasanya zaman ini tidak jauh berbeda.
Pendidikan Itu Penting, Katanya
Jika para petinggi menyatakan bahwa pendidikan itu penting, bukankah solusi yang diberikan harusnya sejalan dengan harapan. Maksudnya, solusi ini bukan sekadar asal terima saja lalu menghela nafas lega.
Pendidikan itu penting karena pendidikan memberikan pencerahan bagi penggunanya di kemudian hari. Tidak perlu berpikir jauh untuk menjadi seorang insinyur, presiden, atau bahkan menduduki kursi para diplomat. Yang terpenting bagaimana pendidikan itu mampu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Perihal membaca adalah hal yang esensial di kehidupan. Bayangkan, seseorang yang buta huruf hingga tua nanti. Apa dampak bagi kehidupan mereka?
Mungkin satu anak tidak berpengaruh di negeri ini. Dan petinggi-petinggi merasa tidak terbebani. Tetapi, ketika melibatkan banyak anak di seluruh pelosok negeri, apakah negara ini akan mampu berdiri?
Lantas, apa yang harus diperbaiki dari sistem pendidikan dalam negeri, lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H