Ziyadah Harta
Melakukan kegiatan ekonomi adalah merupakan tabiat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kegiatan itu manusia memperoleh rizki, dan dengan rizki itulah manusia dapat melangsungkan kehidupannya. Bagi orang Islam, Al-Qur’an dan Hadits adalah petunjuk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang absolut. Dari sinilah terdapat banyak ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang merangsang manusia untuk rajin bekerja, termasuk kegiatan ekonomi didalamnya dan mencela orang menjadi pemalas. Tetapi tidak semua kegiatan ekonomi dibenarkan oleh Al-Qur’an. Apabila kegiatan itu punya watak yang merugikan banyak orang dan menguntungkan bagi sebagian kecil orang, salah satunya adalah riba.
Dari segi bahasa riba memiliki arti ziyadah yang berarti tambahan atau kelebihan. Sedangkan secara istilah syara’, riba berarti tambahnya harta tanpa imbalan apapun. Secara umum, riba dapat diartikan sebagai pengambilan tambahan dari transaksi yang dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan prinsip dan aturan syari’at Islam.
Ada beberapa unsur penting yang terdapat didalam riba, yaitu:
- Yang ditambahkan pada pokok pinjaman
- Besarnya penambahan menurut jangka waktu
- Jumlah pembayaran tambahan berdasarkan persyaratan yang telah disepakati
Dalam ketiga unsur ini bersama-sama membentuk riba serta bentuk lain dari transaksi kredit dalam bentuk uang dan sejenisnya.
Ada dua bentuk riba yang berkembang sejak permulaan Islam, yaitu riba nasi’ah dan riba fadhl. Riba nasi’ahberkaitan dengan penangguhan waktu yang diberikan kepada si penghutang untuk membayar kembali hutang dengan memberikan tambahan. Jadi, riba bentuk ini lebih mengacu terhadap bunga pada hutang. Dalam hai ini tidak ada perbedaan apakah presentase keuntungan dari pokok bersifat tetap atau berubah. Suatu jumlah tertentu yang dibayar di depan atau pasa saat jatuh tempo, atau suatu bentuk pelayanan yang diterima sebagai suatu persyaratan pinjaman tersebut. Adapun riba fadhl adalah bentuk kedua dari riba yang telah banyak digunakan dan selalu terjadi dalam transaksi jual beli. Yang diartikan sebagai kelebihan pinjaman yang dibayar dalam segala jenis, berbentuk pembayaran tambahan oleh peminjam kepada kreditor dalam bentuk penukaran barang yang jenisnya sama.
Salah satu tema kemanusiaan yang dicanangkan dalm Al-Qur’an adalah pelarangan riba. Riba tidak hanya dilarang oleh agama Islam, tetapi juga oleh agama-agama lain, Yahudi dan Nasrani. Bukan hanya etika agama yang mengutuknya, tetapi juga etika filosofis, seperti filsafat Yunani. Dengan demikian, disamping diketahui bahwa Al-Qur’an tidak sendirian dalam menampilkan sikap kerasnya terhadap riba, diketahui pula bahwa usia riba bisa dikatakan sudah sangat tua.
Islam menganggap riba sebagai kejahatan ekonomi yang dapat menimbulkan penderitaan bagi masyarakat luas, baik itu secara ekonomis, moral, maupun sosial. Oleh karena itu Al-Qur’an melarang kaum Muslimin untuk memberi ataupun menerima riba. Sebab dilarangnya riba dari sudut pandang ekonomi, riba memiliki beberapa indikasi sebagai berikut:
- Riba tak lain adalah mengambil harta orang lain tanpa ada nilai imbangan apapun. Padahal, menurut sabda Nabi harta seseorang adalah seharam darahnya bagi orang lain.
- Riba dilarang karena menghalangi pemodal untuk terlibat dalam usahanya mencari rezeki. Seseorang, jika ia mendapatkan penghasilan yang lebih dari riba, akan selalu bergantungan pada cara yang gampang dan membuang pikiran untuk giat berusaha.
- Dengan riba biasanya pemodal semakin kaya dan bagi peminjam semakin miskin, sekiranya dibenarkan maka yang ada orang kaya menindas orang miskin.
Keharaman riba ini dapai dijumpai dalam ayat-ayat Al-Qur’an Hadits Nabi Rasulullah SAW. Para mufasir mengatakan bahwa proses keharaman riba diisyaratkan oleh Allah SWT, secara bertahap.
Tahap pertama, Allah SWT menunjukkan bahwa riba bersifat negatif serta menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya menolong mereka yang membutuhkan sebagai suatu perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal ini disampaikan Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat 39:
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh ridho Allah, maka itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”
Tahap kedua, Allah SWT telah memberikan isyarat tentang keharaman riba melalui kecaman terhadap praktik riba di kalangan masyarakat Yahudi, dan akan memberikan balasan yang keras terhadap mereka yang mempraktikkan riba. Hal ini disampaikan-Nya dalam surat An-Nisa’ ayat 161:
“Dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara yang tidak benar. Dan kami sediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka sika yang pedih. ”
Tahap ketiga, Alah SWT mwngharamkan salah satu bentuk riba, yaitu yang bersifat melipat gandakan dengan larangan yang tegas karena pada masa tersebut praktik pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi sudah banyak dipraktikkan oleh masyarakat luas. Hal ini disampaikan oleh Allah dalam surat Al-‘Imran ayat 130:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”
Tahap terakhir, Allah SWT mengharamkan riba secara total dalam segala macam bentuknya. Hal ini disampaikan oleh Allah pada surat Al-Baqarah ayat 276:
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.Allah tidak menyukai orang-orang yang tetap dalam kekafiran, dan bergelimang dosa.”
Demikian secara jelas Allah SWT telah memberikan penjelasan didalam Al-Qur’an tentang pelarangan riba, pada segala bentuk transaksi bisnis dan kegiatan ekonomi lainnya. Selain adanya unsure penambahan riba juga menimbulkan adanya kedzaliman pada salah satu belah pihak. Aktivitas riba juga akan membuat masyarakat luas hidup malas dengan asumsi tanpa bekerja keras akan memperoleh keuntungan.
Riba termasuk “sub sistem” ekonomi yang berprinsip menguntungkan kelompok orang tertentu, tetapi mengabaikan kepentingan masyarakat luas. Al-Qur’an datang dengan seperangkat prinsip untuk membawa kesejahteraan bagi umat manusia di dunia dan di akhirat. Keseimbangan kesejahteraan antara individu dan masyarakat luas menjadi perhatian utama Al-Qur’an. Dengan ajaran tauhidnya, Al-Qur’an mengingatkan bahwa apa yang dikerjakan manusia akan dilihat di akhirat kelak. Dengan demikian, orang Islam bisa atau tidak , harus merasa bahwa gerak geriknya dalam rerkaman Tuhan. Inilah ajaran moral Al-Qur’an yang menuntut manusia agar tidak berbuat semena-mena terhadap sesama.
Daftar Pustaka:
Zuhri, Muh. Riba Dalam Al-Qur’an Dan Masalah perbankan (Sebuah Tilikan Inspiratif).PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta. Cet I, Maret 1996.
Ismanto, kuat. Asuransi Syari’ah (Tinjauan Asas-asas Hukum Islam). Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Cet I, Februari 2009.
Al Arif, M. Nur Rianto. Pengantar Ekonomi Syari’ah (Teori dan Praktik). CV Pustaka setia, Bandung. Cet I, September 2015.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta. Cet VII, September 2011.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H