Yth. Menteri Pemuda dan Olahraga
Yth. Ketua Umum PBSI
Yth. Calon Ketua Umum PBSI
Yth. Seluruh Komunitas, Admin Akun-Akun Bulutangkis, Forum Diskusi Bulutangkis, dan
Segenap Pecinta Bulutangkis Tanah Air
Sebenarnya sudah sangat lama saya ingin melayangkan surat ini, mungkin sudah sejak tahun 2014. Kegagalan bulutangkis pada olimpiade 2012 jelas masih tidak bisa diterima dan akan tetap menjadi sejarah dari suatu negara yang katanya negara bulutangkis. Kegagalan tersebut terutama disebabkan beban yang teramat berat yang harus diemban oleh masing-masing wakil Indonesia di olimpiade. Bagaimana tidak masuk akalnya bagi saya, ada lebih dari 200 juta penduduk Indonesia, tetapi sektor bulutangkis di negara yang sekali lagi – katanya – negara bulutangkis, hanya mampu meloloskan 6 wakil ke olimpiade atau dengan kata lain bisa dianggap 1 wakil di tiap sektor? Itu pun emas olimpiade seolah dibebankan ke 1 wakil saja: Tontowi/Liliyana. Jelas, teramat berat bagi mereka menanggung beban mengibarkan Merah dan Putih di panggung tertinggi dunia seorang diri.
Kegagalan dalam olimpiade 2012 menunjukkan adanya permasalahan mendasar: regenerasi. Tampuk kepemimpinan PBSI pun berganti. Masa kepemimpinan Gita Wirjawan (GW) memang meletakkan dasar bagi bulutangkis Indonesia kembali pada relnya. Sisi positif di masa beliau yang saya akui adalah adanya sistem kontrak dan sponsorship bagi atlet, sistem promosi dan degradasi, pemain-pemain junior mendapatkan kesempatan tanding yang lebih baik, dan gelar-gelar penting cukup berhasil diperoleh dengan puncaknya pada Olimpiade 2016.
Namun permasalahan-permasalahan mendasar di bulutangkis Indonesia belum dibenahi dengan baik di masa GW. Gelar-gelar yang diperoleh atlet-atlet bulutangkis di masa GW seolah menyimpan bahaya laten dan mendasar bagi perkembangan bulutangkis tanah air yang apabila tidak segera diperbaiki, posisi bulutangkis Indonesia di mata dunia hanya akan tercatat sebagai sejarah – seperti yang sekarang terjadi di sektor tunggal putri.
Sengaja saya memilih momen sekarang, paska olimpiade dan jelang munas PBSI. Sengaja karena jika saya mengetikkan ini di tahun 2014 atau 2015 seperti yang saya katakan di awal, mungkin kata-kata yang saya pilih akan sangat kasar dan penuh caci. Setidaknya di masa sekarang, publik masih menikmati euforia bahwa di olimpiade lalu, kita berhasil memperoleh emas. Pemilihan judul pun sudah saya buat sesopan mungkin karena saya ingin kritik-kritik yang saya sampaikan di sini bisa konstruktif dan implementatif.
Paska olimpiade 2016, sudah 4 gelaran SS/SSP dan faktanya, tidak ada 1 pun wakil Indonesia di final. Lagi-lagi ini menunjukkan bahwa permasalahan mendasar dari bulutangkis tanah air di masa GW belum pernah teratasi dengan baik. Hal-hal mendasar yang masih menjadi catatan negatif saya atas perkembangan bulutangkis tanah air, kinerja PBSI, dan kinerja GW secara keseluruhan sebagai berikut:
- PBSI masih belum bisa mengorbitkan pemain muda yang konsisten di level SS/SSP (kecuali Kevin Sanjaya dan mungkin Praveen Jordan). Patut dicermati bahwa gelar-gelar di masa GW sebagian besar masih disumbang muka-muka lama seperti M. Ahsan, Hendra Setiawan, Tontowi Ahmad, Liliyana Natsir, Greysia Polii, dan Nitya K. M.
- Poin di atas menunjukkan bahwa regenerasi pemain tidak berjalan dengan baik. Praktis capaian gelar yang sekarang dapat dikatakan semu, dalam artian hanya menyejukkan untuk sesaat namun menyimpan bahaya bagi kontinuitas bulutangkis tanah air. Ketika nama-nama pada angka 1 di atas pensiun (yang tinggal menunggu waktu), posisi Indonesia di bulutangkis dunia pun akan sama-sama menunggu waktu untuk pensiun. Saat ini sektor tunggal putra masih menunggu waktu untuk matang jika pembinaan PBSI berhasil. Sektor ganda putri dan ganda campuran ke depannya mungkin hanya akan menjadi penghias draw SS/SSP. Sektor ganda putra masih agak aman. Terakhir, sektor tunggal putri memang sudah sejak lama memasuki masa sejarah.Bagaimana tidak masuk akalnya bagi saya ketika beberapa minggu lalu ganda campuran Indonesia juara GPG dan pimpinan PBSI menyatakan ini sebagai regenerasi padahal faktanya di turnamen tersebut, 3 ganda campuran Indonesia dihempas oleh 1 lawan yang sama? Juara GPG tersebut kemudian juga masih tidak mampu bersaing di level turnamen kelas SS/SSP? Ini ternyata namanya regenerasi: kualitas GPG sudah cukup bagi PBSI.
- PBSI tidak berani menerapkan main rangkap (lintas sektor) dan pengkotak-kotakan pemain hanya di 1 sektor saja dengan alasan stamina pemain jika bermain rangkap. Adanya keengganan dari pelatih tiap sektor untuk mengizinkan pemainnya lintas sektor juga menjadi hambatan karena tiap pelatih dievaluasi dengan pencapaian target-target tertentu atas atlet yang menjadi asuhannya. Padahal, tidak pernah PBSI bisa memberikan bukti nyata bahwa bermain di 1 nomor akan lebih baik daripada rangkap dan tidak pernah ada bukti juga bahwa sektor pemain yang sekarang adalah yang paling tepat.
- Tidak fleksibelnya atlet-atlet pelatnas untuk lintas sektor menjadikan jumlah atlet pelatnas membengkak, padahal banyak yang kualitasnya hanya setara turnamen kelas lokal. Padahal, atlet-atlet sektor ganda putra, ganda putri, dan ganda campuran seharusnya bisa bermain rangkap. Pada akhirnya terdapat atlet-atlet yang seharusnya tidak layak berada di pelatnas (tidak perlu sebut nama, kecuali PBSI menutup mata).
- Evaluasi yang dilakukan PBSI setiap kekalahan atlet pelatnas hanya bersifat semu. Kalah 4 kali, evaluasi 4 kali, dan hasilnya pertemuan ke-5 tetap kalah lagi. Entah bagaimana dan apa yang dievaluasi. Hal ini sekaligus menunjukkan PBSI tidak awaredengan perkembangan atlet-atlet luar yang sedemikian pesat sementara PBSI masih jalan di tempat dan kurang fokus membenahi kekurangan atlet-atletnya.
- PBSI masih gagal membangun sektor tunggal putri. Kegagalan membangkitkan kembali sektor ini jelas harus dilihat, apakah karena kualitas atletnya atau karena faktor pelatih yang memang tidak kompeten dalam melaksanakan tugasnya atau keduanya.
- Kualitas sirnas atau turnamen-turnamen lokal, baik yang diselenggarakan oleh PBSI maupun pihak swasta, tidak menunjukkan perkembangan. Seringkali juara sirnas atau turnamen lokal ketika bermain di turnamen internasional sekelas GP/GPG langsung tersingkir.
- Pembangunan bulutangkis masih berkutat di Jawa. Peran tiap Pengprov PBSI di masing-masing wilayah menjadi pertanyaan besar.
- Pola rekrutmen, promosi, dan degradasi atlet di PBSI masih belum didasarkan kriteria yang jelas. Bagaimana mungkin atlet yang bahkan belum pernah juara di turnamen lokal sekalipun seperti (tidak perlu sebut nama) dan (tidak perlu sebut nama) dulu sempat mendapatkan promosi ke pelatnas (untuk kemudian didegradasi lagi)? Entah kriteria penilaian seperti apa yang ada di PBSI. Selain itu, PBSI juga dapat dikatakan tidak pernah mencetak pemain dari awal, melainkan mengambil pemain yang “sudah jadi” dari klub.
- PBSI masih kurang jeli dalam melihat turnamen yang dapat diikuti atlet-atlet pelatnas. Kejelian ini mencakup ranking atlet, ada tidaknya poin yang harus dipertahankan, dan pemain-pemain luar yang turut serta. Contohnya China GPG yang biasanya selalu jarang pemain ganda putri, seharusnya PBSI dapat melihat peluang ini untuk mengukur pencapaian atlet-atlet ganda putri PBSI bertarung di gudangnya ganda putri dunia.
Di munas PBSI kali ini, salah satu calon selain GW adalah Wiranto. Bagi saya pribadi, saya tidak terlalu menyukai rangkap jabatan sebagai menteri sekaligus ketua umum pengurus olahraga. Prestasi olahraga taekwondo dan bridge ketika dipimpin oleh Wiranto pun tidak begitu saya dengar. Jelas ini adalah hal yang sulit dalam memilih ketua umum PBSI, bukan karena sama-sama baiknya, tapi karena - bagi saya - sama-sama punya banyak catatan negatif. Namun, terlepas dari itu semua, siapapun yang terpilih, hal-hal yang saya (dan kami selaku pecinta bulutangkis) minta dari PBSI ke depannya adalah:
- Pemberlakuan main rangkap (lintas sektor) untuk atlet-atlet pelatnas dan pola main rangkap ini harus menjadi standar baru bagi atlet-atlet yang ada di maupun promosi ke pelatnas.
- Pemberlakuan pelatih tunggal atau pelatih kepala untuk sektor ganda putra, ganda putri, dan ganda campuran sehingga pemberlakuan main rangkap (lintas sektor) pada angka 1 dapat dijalankan secara lebih baik.
- Perampingan jumlah atlet pelatnas. Ini mutlak. Banyak atlet yang tidak ada prestasinya berdiam di pelatnas (tidak perlu sebut nama).
- Pembentukan dewan atau komite bulutangkis yang beranggotakan unsur-unsur komunitas dan pecinta bulutangkis (masyarakat umum) serta unsur internal PBSI (selain atlet) dengan catatan anggota dari unsur masyarakat lebih banyak daripada unsur internal PBSI. Tugas dari dewan ini adalah memberikan rekomendasi yang harus dipatuhi PBSI terkait kelayakan atlet-atlet yang promosi maupun didegradasi dan pergantian pasangan pemain (bongkar-pasang pemain) untuk sektor ganda. Dewan atau komite bulutangkis ini adalah perwujudan partisipasi masyarakat untuk turut mengawal bulutangkis tanah air.
- Pemasangan senior dengan junior dalam rangka akselerasi dan regenerasi pemain untuk sektor ganda. Bagi saya, tidak masuk akal memasangkan M. Ahsan dengan Berry, lebih baik memasangkan Ahsan dengan Fajar atau Rian untuk mematangkan permainan mereka.
- Penanganan khusus untuk sektor tunggal putri a.l dengan memilih pelatih yang lebih tepat dan pencarian bibit tunggal putri secara masif. Hal ini memerlukan peran pengprov dan klub-klub daerah untuk menemukan bibit tunggal putri yang layak bermain di turnamen dunia. Harus ada orang yang bisa turun ke daerah langsung dan menemukan bibit tunggal putri yang bagus.
- Perlu dibuat standar baku pelatihan atlet dan standar tersebut mengacu pada standar China atau Negara lain yang nyata-nyata lebih baik metode pelatihan dan regenerasi atletnya daripada Indonesia.
- Integrasi antara bulutangkis dengan kurikulum sekolah sehingga dapat memudahkan dalam pencarian bibit-bibit bulutangkis.
- Penggunaan kriteria yang lebih jelas terkait promosi dan degradasi atlet. Promosi dan degradasi atlet harus mendapat persetujuan dewan atau komite bulutangkis sebagaimana pada angka 4.
- Peningkatan kualitas sirnas dan turnamen lokal lainnya antara lain dengan mengundang atlet-atlet luar negeri untuk mengikuti sirnas serta pemerataan kualitas bulutangkis Jawa dan Luar Jawa.
Tentu masalah klasik yang akan mengemuka adalah pendanaan. Saya memahami sektor olahraga di negeri ini adalah sektor yang dianggap penting hanya ketika ada olimpiade, SEA Games, atau Asian Games, dan setelah gelaran tersebut usai, sektor ini tidak menjadi perhatian lagi. Tetapi, poin 1, 2, 3, 4, dan 5 yang saya (dan kami) kemukakan di atas bahkan bisa dilakukan tanpa biaya. Hanya menunggu apakah PBSI mau serius untuk berubah ke arah yang lebih baik atau tidak, atau malah masih tertidur karena kelelahan mempersiapkan munas.
Zhang Beiwen (WS USA) baru saja menjadi runner upturnamenSuper Series, pencapaian yang setara dengan prestasi tunggal putri Indonesia … 8 tahun silam.
Mohon maaf apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan. Tapi semoga tulisan ini menyadarkan PBSI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H