Mohon tunggu...
Ananto Pradana
Ananto Pradana Mohon Tunggu... -

grateful and smile is the key to life

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ibu Kota Banjir?

23 Februari 2015   18:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:40 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi - Banjir di Jakarta. (Kompas.com)

“Pertanyaan dari judul di atas sangat mudah dijawab saat musim hujan tiba”

Masyarakat Jakarta sudah terbiasa dengan bencana banjir, masyarakat malah akan merasa bingung jika Ibu Kota tidak banjir. Masyarakat sudah sangat pesimis akan harapan Ibu Kota DKI Jakarta bebas dari bencana banjir. Pemerintah Provinsi sampai Pemerintah Pusat pun sudah mencari solusi untuk mengatasi masalah bencana banjir ini. Sudah sangat lama Jakarta dilanda banjir dan belum ada solusi yang jitu dalam mengatasi banjir di Ibu Kota ini.

Sejarah banjir Jakarta merupakan hal pertama yang ingin saya tuliskan di sini untuk pemahaman terjadinya cikal bakal dari bencana tahunan di ibu kota Indonesia. Semasa pemerintahan Hindia Belanda, DKI Jakarta sudah dilanda bencana banjir. Banjir yang sangat besar dan fenomenal terjadi pada tahun 1918 yang mengakibatkan lumpuhnya kegiatan sosial dan ekonomi di Jakarta. Setelah tahun 1918, Prof Herman Van Breen membuat 3 cara pengendalian banjir, yaitu:

1.Membuat suatu kanal banjir (banjir kanal barat);

2.Memperbaiki saluran drainase lingkungan; dan

3.Menimbun rawa-rawa untuk mencegah penyakit malaria.

Melalui cara Van Breen inilah pada tahun 1922 dibangun Banjir Kanal Barat. Akan tetapi pada tahun 1932 DKI Jakarta masih dilanda banjir yang tidak kalah besar dengan banjir tahun 1918. Pada tahun 1965 dibentuk Komando Proyek Pencegahan Banjir Jakarta (Kopro Jakarta) yang menghasilkan cara pencegahan banjir yang serupa dengan Van Breen, yaitu: penanganan drainase, menghindari banjir dari hulu dan pembangunan saluran-saluran air pada musim kemarau. Pada tahun 1973 berkat hibah dari Belanda (Netherland Engineering Consultant), membuat suatu masterplan untuk mengendalikan banjir, yang menghasilkan: memperluas pembangunan banjir kanal barat, pembangunan Banjir Kanal Timur dan pembangunan polder-polder pengendali banjir. Pada era 1990-an masterplan direvisi oleh tim JICA yang menghasilkan rekomendasi pembangunan Banjir Kanal Timur (yang baru selesai pada tahun 2012).

Kedua yaitu tentang sebab-sebab terjadinya banjir di Ibu Kota DKI Jakarta. Secara garis besar terdapat 5 masalah penyebab bencana banjir di Jakarta, yaitu:

1. Sungai-sungai di sekitar Jakarta yang tidak bisa menampung air hujan ketika musim hujan tiba. Curah hujan yang intensitasnya tinggi membuat sungai-sungai di sekitar Jakarta meluap.

2. Alih fungsi lahan hutan (lindung) menjadi kawasan kawasan budi daya. Dari masa Hindia Belanda alih fungsi kawasan lindung sudah terjadi, contohnya: di kawasan Bogor dan Puncak kawasan hutan lindung diubah menjadi kawasan budi daya (perkebunan teh). Pada era 1990-2000-an muncul kota-kota baru di Jabodetabekpunjur sehingga kawasan hutan semakin terkikis.

3. Jumlah penduduk DKI Jakarta yang sangat meningkat. Jumlah penduduk yang tinggi mengakibatkan kebutuhan ruang-ruang untuk aktivitas sosial dan ekonomi juga semakin tinggi. Sehingga kawasan-kawasan yang seharusnya sebagai pengendali air digunakan sebagai kawasan budi daya. Contohnya, sepadan sungai dijadikan kawasan permukiman.

4. Mental para masyarakat yang kurang peduli terhadap bencana banjir. Contohnya, masyarakat masih terbiasa membuang sampah tidak pada tempatnya.

5. Kondisi sistem drainase perkotaan yang buruk.

Ketiga, solusi untuk mengatasi masalah bencana banjir Jakarta. Terdapat 5 solusi untuk mengatasi masalah banjir Jakarta, meliputi:

1. Dibutuhkan peran pemerintah dari hulu ke hilir (Jabodetabekpunjur). Agar peran pemerintah dapat membuat suatu kesepakatan perjanjian untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan pencegahan banjir.

2. Mengembangkan DAS secara terpadu dengan one river one management dengan membuat suatu kelembagaan yang kuat dalam penanganannya.

3. Sosialisasi kepada masyarakat tentang bencana banjir. Dari sebab banjir sampai pencegahan banjir harus disosialisasikan kepada masyarakat. Hal ini untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk ikut terlibat dalam penanganan masalah banjir.

4. Menetapkan aturan dan membuat kesepakatan dari masing-masing pengembang kawasan untuk melakukan mitigasi bencana, contohnya: pembuatan sumur-sumur serapan, reservoir maupun kolam-kolam retensi di setiap kawasan permukiman.

5. Melakukan penataan kembali, pemetaan masalah, peningkatan kualitas dan pemeliharaan terhadap sistem drainase perkotaan.

Sebagai salah satu penduduk DKI Jakarta, saya dan tentunya semua masyarakat Jakarta sangat memimpikan Ibu Kota DKI Jakarta terlepas dari bencana banjir. Tidak hanya peran pemerintah sebagai pemangku kebijakan tetapi keterlibatan dari semua lapisan masyarakat Jakarta dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah bencana banjir yang tak kunjung terpecahkan ini.

“Ruang yang kita diami saat ini bukanlah warisan dari nenek moyang, melainkan pinjaman dari anak cucu kita kelak”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun