Panasnya matahari berganti derasnya hujan di tengah-tengah penolakan kelompok buruh, mahasiswa dan kelompok lain yang melakukan demonstrasi penolakan atas UU Cipta Kerja.Â
Pergerakan penolakan ini membahana di kota-kota besar di Indonesia. Banyak analisa disampaikan baik yang mendukung maupun yang tidak mendukung atas UU Cipta Kerja ini. Gegap gempita yel-yel disampaikan di lapangan, atau saling ejek dengan semua versi analisa disampaikan melalui media sosial.
Saya sebenarnya agak jengah dengan gegap gempita pro dan kontra yang berkepanjangan, karena pasti hal ini akan memunculkan penunggang-penunggang yang tidak bertanggungjawab (free-rider) atas isu yang ada. Mulai dari kelompok pro pemerintah di satu sisi, hingga kelompok kontra pemerintah yang digerakkan oleh kelompok buruh dan kelompok lainnya.
Namun, sadarkah kita, bahawa ada sebuah perubahan paradigma yang jauh lebih dahsyat dampaknya dari sekedar menghitung jumlah pesangon yang turun atau mempergunjingkan cuti yang hilang?Â
Ya, tanpa disadari telah terjadi pergeseran paradigma perumus UU Cipta Kerja ini atas pengupahan. Perlu diingat, kalau bicara pesangon adalah berbicara nanti ketika pekerja terkena Pemutusan Hubungan Kerja, jadi itu nanti dan mungkin saja hanya terjadi sekali seumur hidup pekerja.Â
Namun hal yang ingin saya angkat dalam tulisan ini adalah terkait dengan pengupahan dari salah satu pasal yang ada di dalam UU Cipta Kerja yang dampaknya akan setiap bulan dirasakan oleh pekerja. Pasal terkait pengupahan itu adalah pasal yang mengatur struktur dan skala upah.
Di dalam Pasal 92 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,diatur sebagai berikut:
Ayat (1) "Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masakerja, pendidikan, dan kompetensi".
Ayat (2) Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.
Ayat (3) disebutkan "Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diaturdengan Keputusan Menteri.
Sementara itu di dalam Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah, Definisi Struktur dan Skala Upah adalah Susunan Tingkat Upah dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi atau dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah yang memuat kisaran nominal upah dari yang terkecil sampai dengan yang terbesar untuk setiap golongan jabatan". Â
Perlu diingat, bagi pengusaha yang tidak menyusun Struktur dan Skala Upahnya di perusahaan dapat dikenakan sanksi. Tapi saya tidak akan berbicara tentang sanksi kali ini.
Sementara itu, di dalam UU Cipta Kerja yang merevisi ketentuan Pasal 92 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang berbunyi:
(1) Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.
(2) Struktur dan skala upah digunakan sebagai pedoman pengusaha dalam menetapkan upah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur dan skala upah diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Apakah Anda memperhatikan perubahannya ? Ya....benar, Pasal 92 ayat 1 di dalam UU No. 13 tahun 2003 telah dihapuskan. Apa artinya? Artinya Pengusaha dalam menyusun struktur dan skala upah tidak lagi harus memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.Â
Lalu apa yang harus diperhatikan? Lihat Pasal 92 ayat (1) di dalam UU Cipta Kerja sebagai bentuk revisi atas UU No. 13 tahun 2003. Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.Â
Apa artinya? Artinya kini dalam menyusun struktur dan skala upah cukup memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas. Tidak ada lagi golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi. Hal ini mengisyaratkan bahwa upah hanya diperhitungkan dengan hasil atau output pekerja yang tercermin dalam produktivitas kerja.
Kalau seorang karyawan dengan pendidikan Sarjana lebih produktif dibandingkan karyawan dengan pendidikan Doktor, maka mana yang akan dipilih pengusaha? Pasti yang sarjana. Bahkan ketika produktivitas mereka sama, maka mana yang akan dipilih pengusaha? Pasti tetap yang sarjana, karena biasanya kalau pendidikannya sudah tinggi maka harapan mendapat gaji tinggi juga besar. Kalau harapannya tidak tercapai, maka rusaklah motivasi kerja karyawan tersebut, dan motivasi itu menular. (jadi ingat tulisan saya kemarin soal lulusan sarjana yang merasa "terhina" karena hanya digaji 8 juta).
Contoh lainnya, apabila ada seorang pekerja yang telah bekerja 10 tahun dengan output yang lebih rendah dibandingkan dengan pekerja yang baru bekerja 1 tahun pada posisi yang sama, maka siapa yang akan dipertahankan perusahaan? Pasti karyawan yang baru bekerja 1 tahun itu. Masa kerja tidak menjamin peningkatan output akan mengikuti peningkatan masa kerja seorang karyawan. Jadi, kalau jadi pekerja, sekarang lupakan berinvestasi dengan masa kerja bila tidak tercapai produktivitas kerja.
Telah terjadi pergeseran paradigma besar-besaran atas pengupahan yang dilakukan oleh UU Cipta Kerja ini. Seorang pekerja hanya akan dibayar apabila pekerja itu produktif. Tidak ada lagi alasan saya lebih senior atau lebih tinggi pendidikannya.Â
Ada hal ekstrem yang dapat saya sampaikan bukti atas tidak berlakunya lagi masa kerja dan pendidikan dalam melihat produktivitas kerja. Lihatlah bagaimana Bill Gates kuliah di Harvard University selama dua tahun. Ia memutuskan keluar dari kampus bergengsi itu pada tahun 1975, atau Mark Zuckerberg. Ia mengambil jurusan ilmu komputer dan psikologi sebelum keluar untuk fokus mendirikan Facebook.Â
Mereka berdua sebenarnya hanya mengenyam pendidikan tingkat SMA ketika dengan produktif membuat berbagai program komputer yang ada. Walaupun setelah sukses mereka kembali kuliah, namun jelas bahwa tanpa mengandalkan titel sebagai sarjana, mereka sudah sangat produktif.
Saya pernah menulis sebelumnya yang meramalkan perubahan hubungan industrial di masa depan di sini dimana pekerja pada akhirnya hanya akan dibayar dengan hasil atau output yang dihasilkannya.Â
Contoh terdekat dari semua revolusi perubahan itu adalah pada para pengemudi ojek online. Para pengemudi ojek online tidak akan dibayar bila tidak mengantarkan.Â
Dalam bahasa tulisan saya sebelumnya usage based price, yaitu konsumen hanya akan membayar apa yang didapatkannya, begitu juga sebaliknya, pengusaha hanya akan membayar apa yang dihasilkan pekerja. Masa kerja dan pendidikan tidak otomatis menghasilkan output yang lebih.
Bersiaplah untuk selalu produktif karena hanya itu yang akan dibayar pengusaha. Kalau itu dirasakan tidak fair, maka cobalah untuk menjadi pengusaha, menurut kalian seperti apa rasanya? Pasti bikin kepala pusing ketika harus mengurusi karyawan yang sudah lama dengan output kerja yang sama dengan karyawan  baru namun dengan tuntutan yang lebih tinggi.
Kini paradigma telah bergeser, demontrasi tidak akan membawa perubahan apapun karena memang inilah gelombang revolusi dunia. Kita sebagai pekerja dituntut untuk lebih produktif. Kalau ini dirasakan tidak adil, silahkan menantang diri dengan keluar dari perusahaan dan cari perusahaan yang lebih dirasakan adil.
Selamat datang paradigma baru pengupahan di Indonesia. Mari kita bergerak dengan paradigma baru itu......karena saya juga buruh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H