Itu kasak-kusuk naif yang tak penting-penting amat. Jadi, tak mengapa buat saya kalau tidak bisa masuk ke gedung-gedung tersebut. Saya lebih memilih bersyukur atas banyaknya trotoar bagus di ibu kota. Jumlahnya mungkin sama dengan trotoar buruk, tapi itu satu soal. Dalam soal yang lebih subtil, saya menemukan bahwa, selain beragam kasak-kusuk, ada kesederajatan manusia di trotoar.
Di trotoar, saya pernah berjalan di samping bule sebesar pohon. Kali berikutnya saya berpapasan dengan pemuda-pemudi tegap berkemeja rapih.Â
Saya juga pernah menyalip bapak-bapak usia puber kedua yang memakai arloji mahal. Di tempat lain, para pejalan kaki ini mungkin berstatus sebagai CEO perusahaan atau staf pemasaran bergaji jutaan. Namun, di atas trotoar kami beridentitas sama. Kami pedestrian.
Apakah terdengar menyedihkan bila saya bangga menahbiskan diri sebagai pedestrian dengan alasan di atas? Sila menilai. Yang jelas, saya temukan bahwa trotoar memungkinkan hadirnya kesetaraan. Dan pedestrian adalah kata lain dari egaliterian. Saya nyaman mengimani pengertian itu.Â
Anda bisa berprofesi apa saja dan muncul dari golongan manapun. Namun begitu Anda menyusuri trotoar, Anda sama dengan yang lain; makhluk purba yang serupa dalam laku, setara mengenai hak, dan sama soal kewajiban.
Saya bangga menjadi pedestrian di ibu kota dan itu bagi saya lebih dari sekedar identitas. Persoalan akan menjadi mudah bila orang melihat sebagaimana kami pejalan kaki---yang miskin ini---melihat, bahwa menjadi pedestrian adalah juga ekspresi kepemilikan, sama mustahaknya dengan sense of belonging pengendara atas kendaraannya.Â
Jika pengendara tak mau mobilnya lecet, kami pun tak mau trotoar digagahi roda bermotor. Jika pemobil ingin nyaman menyetir di atas joknya, kami pun demikian, ingin nyaman berjalan di atas trotoar.
Di Youtube, saya melihat sekian kota di luar negeri yang menggeser trotoar sebagai 'tujuan'. Ia tak lagi semata 'sarana' berpindah dari satu asal ke muasal lain, melainkan tempat rekreasi dan wadah berkumpul.Â
Pemerintah kota-kota itu melengkapi trotoar dengan piano, membayar pemusik profesional, dan menyewa seniman untuk melukis banyak spot berfoto yang menyenangkan. Detail-detail seperti penutup got pun mereka balut dengan ornamen yang indah.
Itulah mengapa saya selalu menyambut baik jika media menyoal trotoar, atau saat pemerintah melakukan perbaikan. Begitu pula saya akan sedih bila ada pengendara menyerobot trotoar atau parkir sembarangan di situ, atau pedagang yang memakan hak orang banyak atas kepentingannya sendiri.Â
Trotoar adalah harta bagi pedestrian, dan percayalah, hanya itu satu-satunya yang kami punyai.