Yes it's time to say auf Wiedersehn
Sayonara and ciao my friend
You'll always have a place within my heart
And rock will come and rock will go
The scene will change and time will show
But still I hope that you'll be there for me
I'll be there for you
It was easier to say hello
Than to say goodbye
Now the bus is leaving once again
I bid farewell to you
*Beberapa bait lagu Farewell to you - White Lion*
Suara Mike Tramp, suami Ayu Azhari itu menghiasi kancah musik rock ‘90an. Genre lagu yang cenderung, lebih mudah meraih popularitas di zamannya. Tapi kenapa memilih bus? Kenapa bukan berpisah dengan latar belakang kereta atau pesawat? Atau moda transportasi lain? Kapal misal, seperti lambaian gembira Jack ketika naik Titanic?
Barangkali, itulah garis besar pertanyaan yang akan saya ajukan jika punya kesempatan bertanya langsung kepada penggubah lagu ini, Vitto Brata dan Mike Tramp. Kalau di kira-kira tentang jawabannya, pastilah tidak jauh-jauh dari histori dan romantika sentimentil sang seniman dibalik itu (Iya, musisi itu seniman juga!!).
Akan selalu ada sejarah di balik sebuah karya. Saya kira, lagu ini adalah salah satu karya yang merekam dengan baik apa itu kenangan, rasa rindu, harapan bertemu, fragmen perpisahan serta doa. Lagu lain? Banyak, banyak sekali. Tapi lagu ini yang menurut saya paling komplit. Mungkin interpretasinya sangat mengerucut kepada –hanya- penggemar musik rock. Namun dari segi lirik, sekali lagi, kandungan maknanya sangat komplit.
Tapi itu belum menjawab pertanyaan awal, Kenapa memilih latar belakang bus? Jawaban tepatnya, nanti dulu. Bukankah sangat mustahil itu terjawab langsung oleh empunya lagu? Namun jika mau berusaha mencari titik cerahnya, akan sangat tepat andai pertanyaan itu dijawab dengan melihat kondisi dan mekanisme transportasi Indonesia sekarang.
***
Berkaitan dengan transportasi, darat khususnya, moda transportasi yang berbasis rel mungkin dalam sepuluh tahun terakhir ini sedang naik daun dengan berbagai produknya, LRT, KRL, MRT ataupun commuter line. Di sini kereta api jelas menunjukan kemajuan luar biasa. Warisan masalahnya dari tahun ke tahun seketika di “evolusi cepat”.
Banyak, sangat banyak perubahan. Tidak ada lagi antrean yang mengular, praktek percaloan disuntik mati, stasiun bukan lagi menjadi pangkalan asongan, dan lainnya. Di saat hampir semua moda transportasi sibuk dengan turbulensi atas ulahnya sendiri, kereta api berhasil membangun budaya yang sama sekali baru.
Jujur kita akui, seluruh pranata, sistem, mekanisme, atau apapun yang berkenaan dengan transportasi, berlangsung dan kita selebrasi bersama ini, memang dituntut untuk mengejar apa yang, pada akhirnya disebut modern.
Kesadaran itu pula yang menggiring kita pada apa saja yang punya tuntutan untuk "cepat" di dalamnya. Memang "cepat" menjadi salah satu ciri-ciri utama, atau malah variabel tunggal. Dari sini, tak bisa tidak, koin sudah dilempar ke atas dan hanya akan muncul salah satu sisi saja ketika menyentuh permukaan. Dan sisi koin yang terlihat itu adalah yang kita rasakan sekarang.
Sebelum menyentuh hal lain, kembali lagi ke kereta api yang oleh perubahan demi perubahannya, kita sadari atau tidak, telah membunuh salah satu sisi yang paling hakiki dari diri kita, kemanusiaan. Sangat tidak kasat mata, namun dapat kita rasakan bersama bahwa ada yang hilang dari sebuah yang orang selalu katakan sebagai kemajuan.
Kurang lebih enam tahunan yang lalu, masih saya dapati sebuah potongan episode, ketika saya diantar menuju ke stasiun oleh bapak saya. Di sana, kami duduk bersama di peron menunggu keberangkatan. Ketika kereta tiba, bapak tidak bisa melepas pandangannya, hanya untuk memastikan dimana saya duduk.
Dalam rangkaian kereta, saya melihat bapak belum mau melepas saya dari sorotnya begitu saja, beliau menunggu, dengan sabar menunggu sampai kereta beranjak malas dengan kemauannya sendiri. Itu semua beliau lakukan hanya untuk melambaikan tangan, melambaikan tangan kepada saya. Dan saya yakin, bapak benar-benar tidak beranjak sampai kereta yang saya tumpangi benar-benar musnah dari pandangannya.
Sekarang? Kereta api tidak menawarkan romantika semacam itu lagi. Sisi itu sudah terkubur dalam dan sangat rapat. Kereta api bukan lagi tempat yang tepat untuk menyadarkan orang bahwa lebih mudah untuk mengucap kalimat pertemuan daripada kalimat perpisahan, seperti tertuang dalam lirik White Lion.
Saya juga meyakini hal yang sama terhadap pesawat ataupun kapal laut yang bagi saya titik pijaknya sama saja dengan kereta api. Hal tersebut digeser dengan senyum ramah artifisial para pegawainya. Itupun muncul dari pegawai yang selain memang dituntut untuk ramah, sangat berpotensi juga untuk tidak mematuhinya. Anda belum pernah dimaki oleh petugas keamanan stasiun dan bandara, kan?
Bagi anda yang masih merindukan lambaian tangan dari keluarga, pacar, atau sahabat untuk melepas kepergian, dan bagi anda yang ingin melihat mereka sampai titik terjauh ketika anda telah benar-benar melesat lurus sebelum menuju tujuan. Bus masih menyimpan hal itu untuk ditawarkan kepada kita.
Akan anda temukan romantisme itu dalam bus. Disana akan anda temukan lagi doa-doa pelepas kepergian anda ke luar kota oleh orang-orang yang anda cintai. Ya, doa, satu kata dengan bentuk yang kaya dan bernilai tinggi. Kedalaman maknanya mampu melahirkan anak-anak makna baru yang tidak hanya berhasil melewati waktu, tetapi juga menembus demarkasi ruang.
Di sana anda akan menyadari bahwa White Lion benar-benar menyentuh perasaan pendengar yang secara langsung mengalami situasi yang sama dengan mantranya. It was easier to say hello than to say goodbye. Now the bus is leaving, once again, I bid farewell to you.
Sayangnya, anda hanya punya sedikit presentase untuk berkesempatan mendengar lagu bagus di dalam bus kota, terlebih Farewell To You nya White Lion. Versi koplonya pun nyaris tidak ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H