Mohon tunggu...
Ananta Damarjati
Ananta Damarjati Mohon Tunggu... Wartawan -

Wartawan partikelir | Alumni Ponpes Kedunglo, Kediri |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cara Masyarakat Kita Menanggapi Foto Noor Tagouri

3 Oktober 2016   10:53 Diperbarui: 3 Oktober 2016   17:41 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adalah suatu keharusan yang tidak bisa dihindari untuk berpegang kepada autensitas siapa sebenarnya Mbak Noor Tagouri, sebelum membaca ulang narasi sejarah majalah Playboy untuk akhirnya mulai berkomentar. Narasi yang kita kantungi sekarang, tentu tidak akan meliput seluruh peristiwa dan perkembangan berbagai tahapan dalam majalah yang sejak 1953 dimandori oleh Hugh Hefner itu. Paling banter cuma Wikipedia, itu saja.

Lalu apakah itu cukup untuk menyinyiri muslimah cakep itu? Saya rasa belum, apa bagusnya kritik tanpa detail, seperti sekarang ini. Kenyataan seperti inilah yang pada akhirnya akan mengakibatkan adanya kesenjangan besar antara realitas dengan opini yang kita bangun nantinya. Oh ya, opini sudah terbangun, dan kebanyakan masyarakat Indonesia menyayangkan hal yang dilakukan Mbak Noor Tagouri. Kecewa, sedih, sudah tentu.

Pada akhirnya, cap kafir, menghina agama, antek liberal dan anekaria cap lain memang sudah tersemat, apa daya. Setidaknya ini pertanda bagus, bahwa secara psikologis, kita, masyarakat Indonesia sudah terlampau bahagia dan tidak memiliki kekhawatiran terhadap hidup. Karena ketika kita menyalakan TV, membaca koran dan mengamati media sosial, kita kemudian mencari kekhawatiran di luar diri kita untuk dikhawatirkan. Sehat, bukan!

Tapi memang sangat disayangkan, mayoritas umat Islam di Indonesia dengan segala keterbatasan informasinya telah mengambil kesimpulan sepihak, hujatan. Padahal, meminjam  istilah Dr. Thaha Jabir Fayyadh al-‘Alwani, Islam adalah risalah terakhir yang istimewa. Dan sebenarnya tidak ada jalan sedikit pun bagi umat Islam untuk hancur dan terhapus dari percaturan dunia.

Apalagi hanya karena foto, yang 'baik-baik saja' itu. Foto yang hampir pasti kita jumpai sebagai hal yang lumrah di bahkan Indonesia. Di foto itu, Mbak Noor Tagouri tampil memakai pakaian lengkap, termasuk hijabnya. Playboy menampilkan Mbak Noor karena ia dianggap sebagai salah seorang yang berani mengambil langkah berbeda dari orang-orang pada umumnya.

Secara otentik, Mbak Tagouri adalah anak muda visioner yang berkeinginan kuat menjadi jurnalis berhijab pertama di televisi komersial Amerika Serikat. Curiculum vitae-nya pun terbilang cemerlang. Kalau kita melihat akun media sosialnya dan membaca baik-baik profilnya, kita tidak akan terkejut dengan keputusan Mbak Tagouri.

Mengutip sebuah laman, Mbak Tagouri menuliskan pernyataan yang kurang lebihnya, “Tagouri telah memperoleh banyak dukungan untuk usahanya melewati batas norma yang stereotip dan telah membangun sesuatu yang kuat untuk mendorong orang lain agar bisa memahami kelebihannya di tengah masyarakat dengan multi-budaya.”

Namun, respons masyarakat Indonesia memang mempunyai sisi kejenakaan tersendiri. Respon kita terasa seperti, ada sesuatu yang sangat perkasa yang keluar dari diri kita, ialah pertahanan diri, yang kita semua tahu mekanismenya. Ada yang menyerang habis-habisan, ada yang diam netral, ada yang mengambil jarak.

Itulah yang membuat saya tergelitik untuk ikut mengunduh aplikasi majalah Playboy. Saya mencoba mengunduhnya beberapa kali, tetapi gagal.  Entah sebab apa. Akhirnya, saya dibantu teman yang ahli multimedia menjebol proxy (atau apalah saya lupa), untuk mengacaukan statistik dan algoritma internet positif, dan berhasil.

Saya kaget, ternyata Playboy sekarang sudah bukan lagi seperti Playboy yang murni bergerak di bidang birahi seperti dulu. Konten yang dijual sekarang lebih menitik beratkan pada 'kesenian' objek fotografi (walalupun saya juga meyakini, itu bukanlah seni yang bagus). Model, pose dan pemilihan busana pun, tidak secara vulgar memperlihatkan bagian-bagian tertentu. Dan itu sah untuk ukuran kebudayaan Amerika.

Foto-foto seksi seolah hanya menjadi gimmick dari berita-berita superfisial khas Amerika. Mulai dari kolom interview selebritis, kolom belanja online yang sebagian besar menawarkan busana yang sedang tren, kolom profil pejabat, berita pilpres Amerika, resensi film, ulasan video game, komedi, dan, kumpulan resep makanan. Bayangkan! Ini bukan lagi majalah birahi, ini majalah gaya hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun