Adalah suatu keharusan yang tidak bisa dihindari untuk berpegang kepada autensitas siapa sebenarnya Mbak Noor Tagouri, sebelum membaca ulang narasi sejarah majalah Playboy untuk akhirnya mulai berkomentar. Narasi yang kita kantungi sekarang, tentu tidak akan meliput seluruh peristiwa dan perkembangan berbagai tahapan dalam majalah yang sejak 1953 dimandori oleh Hugh Hefner itu. Paling banter cuma Wikipedia, itu saja.
Lalu apakah itu cukup untuk menyinyiri muslimah cakep itu? Saya rasa belum, apa bagusnya kritik tanpa detail, seperti sekarang ini. Kenyataan seperti inilah yang pada akhirnya akan mengakibatkan adanya kesenjangan besar antara realitas dengan opini yang kita bangun nantinya. Oh ya, opini sudah terbangun, dan kebanyakan masyarakat Indonesia menyayangkan hal yang dilakukan Mbak Noor Tagouri. Kecewa, sedih, sudah tentu.
Pada akhirnya, cap kafir, menghina agama, antek liberal dan anekaria cap lain memang sudah tersemat, apa daya. Setidaknya ini pertanda bagus, bahwa secara psikologis, kita, masyarakat Indonesia sudah terlampau bahagia dan tidak memiliki kekhawatiran terhadap hidup. Karena ketika kita menyalakan TV, membaca koran dan mengamati media sosial, kita kemudian mencari kekhawatiran di luar diri kita untuk dikhawatirkan. Sehat, bukan!
Tapi memang sangat disayangkan, mayoritas umat Islam di Indonesia dengan segala keterbatasan informasinya telah mengambil kesimpulan sepihak, hujatan. Padahal, meminjam istilah Dr. Thaha Jabir Fayyadh al-‘Alwani, Islam adalah risalah terakhir yang istimewa. Dan sebenarnya tidak ada jalan sedikit pun bagi umat Islam untuk hancur dan terhapus dari percaturan dunia.
Apalagi hanya karena foto, yang 'baik-baik saja' itu. Foto yang hampir pasti kita jumpai sebagai hal yang lumrah di bahkan Indonesia. Di foto itu, Mbak Noor Tagouri tampil memakai pakaian lengkap, termasuk hijabnya. Playboy menampilkan Mbak Noor karena ia dianggap sebagai salah seorang yang berani mengambil langkah berbeda dari orang-orang pada umumnya.
Secara otentik, Mbak Tagouri adalah anak muda visioner yang berkeinginan kuat menjadi jurnalis berhijab pertama di televisi komersial Amerika Serikat. Curiculum vitae-nya pun terbilang cemerlang. Kalau kita melihat akun media sosialnya dan membaca baik-baik profilnya, kita tidak akan terkejut dengan keputusan Mbak Tagouri.
Mengutip sebuah laman, Mbak Tagouri menuliskan pernyataan yang kurang lebihnya, “Tagouri telah memperoleh banyak dukungan untuk usahanya melewati batas norma yang stereotip dan telah membangun sesuatu yang kuat untuk mendorong orang lain agar bisa memahami kelebihannya di tengah masyarakat dengan multi-budaya.”
Namun, respons masyarakat Indonesia memang mempunyai sisi kejenakaan tersendiri. Respon kita terasa seperti, ada sesuatu yang sangat perkasa yang keluar dari diri kita, ialah pertahanan diri, yang kita semua tahu mekanismenya. Ada yang menyerang habis-habisan, ada yang diam netral, ada yang mengambil jarak.
Itulah yang membuat saya tergelitik untuk ikut mengunduh aplikasi majalah Playboy. Saya mencoba mengunduhnya beberapa kali, tetapi gagal. Entah sebab apa. Akhirnya, saya dibantu teman yang ahli multimedia menjebol proxy (atau apalah saya lupa), untuk mengacaukan statistik dan algoritma internet positif, dan berhasil.
Saya kaget, ternyata Playboy sekarang sudah bukan lagi seperti Playboy yang murni bergerak di bidang birahi seperti dulu. Konten yang dijual sekarang lebih menitik beratkan pada 'kesenian' objek fotografi (walalupun saya juga meyakini, itu bukanlah seni yang bagus). Model, pose dan pemilihan busana pun, tidak secara vulgar memperlihatkan bagian-bagian tertentu. Dan itu sah untuk ukuran kebudayaan Amerika.
Foto-foto seksi seolah hanya menjadi gimmick dari berita-berita superfisial khas Amerika. Mulai dari kolom interview selebritis, kolom belanja online yang sebagian besar menawarkan busana yang sedang tren, kolom profil pejabat, berita pilpres Amerika, resensi film, ulasan video game, komedi, dan, kumpulan resep makanan. Bayangkan! Ini bukan lagi majalah birahi, ini majalah gaya hidup.
Manuver majalah Playboy seperti ini memang bisa dipahami. Sekarang konten birahi dalam bentuk gambar hanya menjadi pilihan kesekian. Era sudah berubah, kemudahan akses untuk mendapatkan konten berbentuk video membuat Playboy tidak mampu terus-terusan menawarkan hal basi semacam itu. Dampak terbaliknya arus tersebut jelas buruk bagi Playboy. Buruk juga bagi generasi muda Indonesia tentunya.
Lantas, ketika Playboy sudah banting stir menjadi majalah gaya hidup, bukankah tidak masalah kalau Mbak Noor Tagouri berpose di sana? Menariknya di Indonesia, yang jadi permasalahan di sini adalah ketika fakta dan realitas semacam ini ditentang oleh tendensi emosional, bahwa perempuan Islam harusnya begini dan begitu, sedangkan majalah Playboy ini begini dan begitu?
Marah, merasa terusik, benci, menghujat, jelas merupakan tendensi emosional, dan ikhtilaf (perbedaan cara pandang) yang didikte oleh emosi semacam ini jelas tidak objektif. Salah satu alasan kenapa dalih tendensius semacam ini dengan murah meriah diberikan kepada Mbak Noor Tagouri adalah karena masyarakat Indonesia percaya bahwa jangan-jangan apa yang selama ini dikhawatirkannya memang benar!
Masyarakat Indonesia jelas mempersoalkan terpuji atau tercelanya Mbak Noor Tagouri. Tapi di satu sisi, ada kealpaan bahwa yang diperdebatkan di sini adalah masalah fur’iyah (ajaran keagamaan yang bukan pokok), di mana perbedaan cara pandang seperti ini memiliki kepastian hukum dengan berbagai kemungkinan.
Sangat disayangkan, argumen yang marak belakangan ini pun terlampau didikte pula oleh klaim kebenaran sepihak. Tidak ada jarak yang diambil sebelum mengeluarkan argumen. Kita akan banyak kehilangan nilai berharga dalam Islam kalau kita terlalu mempermasalahkan perbedaan di sekitar hal itu-itu saja. Sehingga kewajiban utama dan target yang besar (ghayat uzhma) telah banyak kita lupakan.
Daripada menyiyiri, mbokyao berdoa saja, semoga demand dari foto muslimah di Amerika setelah Mbak Noor Tagouri berfoto di Playboy melonjak. Sehingga kelak majalah Playboy sedikit demi sedikit merubah lagi orientasinya menjadi majalah khusus muslimah, kontennya jelas konten Islami. Nomenklatur Playboy diganti juga barangkali: Ikhwan, Akhi, atau, terserahlah…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H