Ini adalah kali pertama, saya bertugas dalam peliputan program Lentera Indonesia di salah satu stasiun TV. Cukup mengejutkan bagi saya, terlebih sehari-hari saya bertugas sebagai video jurnalis untuk update berita harian. Tapi ya, namanya hidup, pergantian peran sudah menjadi hal wajar bukan?
Tugas saya dalam episode ini, adalah menceritakan tentang sosok seorang ibu Keluarga Penerima Manfaat, atau KPM, yang meskipun hidup dengan penuh keterbatasan, namun masih giat dalam membantu tetangganya. Memang, terdengar sederhana. Tapi di era ini, rasa rasanya, kesederhanaan yang tulus, justru menjadi barang mewah.
Aenah dan suaminya, Karwan, dikaruniai 7 orang anak. Anak keempat hingga ke enam masih bersekolah. Masing-masing Febri, kelas 9 SMP, Andri kelas 3 SD dan Yandi baru saja masuk sekolah tahun ini.
Aenah tinggal di sebuah desa bernama Panunggulan, kecamatan Tunjung Teja, kab. Serang. Berjarak sekitar 40 kilometer dari pintu tol serang timur. Kebanyakan ibu-ibu berprofesi sebagai buruh tani. Upah harian buruh tani memang tak banyak, sekitar 15 hingga 20 ribu saja perhari.
Aenah merasa, bantuan yang ia dapat, sedikitnya bisa meringankan beban keluarga. Apalagi, ia tinggal bersama 10 anggota keluarga lain, ibu, suami, menantu dan 7 orang anak. Otomatis, kebutuhan beras yang ia butuhkan cukup banyak.
Hebatnya, kondisi ini tak lantas menjadi alasan bagi Aenah untuk berhenti menolong warga desa. Sehari-hari ia rajin mengantar warga sakit untuk berobat ke Puskesmas atau fasilitas kesehatan lainnya. Aenah bilang, dulu warga kampungnya lebih memilih mengandalkan dedaunan herbal dari kebun untuk berobat, atau bahkan ada yang hanya membiarkannya dan menunggu sembuh sendiri.
Kondisi ini membuat Aenah tergerak, membujuk warga untuk mau berobat ke puskesmas. Kegigihan Aenah ternyata mengetuk hati pejabat desa saat itu. Aenah dihadiahi motor matic hitam, yang hingga kini ia gunakan untuk mengantar jemput warga ke puskesmas atau rumah sakit, tanpa meminta imbalan.
Aenah bilang, meskipun tak punya uang, tapi ia senang karena tenaganya masih bisa membantu orang. Menariknya lagi, meskipun tak ada upah yang dipatok, tapi warga yang ditemani Aenah, selalu saja ada yang memberi Aenah uang bensin, bahkan, ada yang memberi sepasang bebek.
Saya rasa, warga desa berkahnya memang sangat banyak. Dari cerita bu Aenah tentang sepasang bebek yang diberi warga, sekarang sudah menjadi puluhan. Bahkan, di hari ketiga saya liputan, bu Aenah tak segan memotong 5 ekor bebeknya untuk dimasak jadi Gereng Asem, katanya sih makanan khas Baduy. Bu Aenah memang asli Baduy, namun sudah puluhan tahun ikut suaminya dan pindah ke kampung Panunggulan.
Pertama kali saya mencicipi gereng asem yang disediakan, rasanya betul-betul maknyoos, seger banget, pedas, tanpa ada bau amis bebek sama sekali.
Besoknya, ketika perwakilan dari kementrian keuangan datang, Aenah kembali menyuguhi kami dengan 9 butir kelapa muda, dan dipetik dari pohon yang sama.
Sehat-sehat selalu ya bu Anah dan keluarga.. J
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H