Mohon tunggu...
Anan Mujahid
Anan Mujahid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Kuliah Subuh

Seorang pemuda yang sedang mencari sisi normatif dan kepastian hukum untuk menjawab teka-teki keadilan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Refleksi 58 Tahun Kohati: Mulai Hilang Arah Juang, Tebang Pilih Isu Perempuan

17 Oktober 2024   07:56 Diperbarui: 17 Oktober 2024   08:07 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
logo kohati (sumber gambar: baladena.id.com)

Ini adalah tulisan yang dilatarbelakangi keresahan yang penulis alami, selama menempuh proses di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pada Januari lalu, menjelang milad ke-77 Tahun. Kritik dilontarkan karena kecenderungan pada kekuasaan yang memudarkan citra kritis (tulisan saya awal tahun kemarin). Begitupun dalam tulisan yang akan diulas kali ini, perhatian tertuju pada lembaga semi otonom yang pada 17 September kemarin merayakan milad ke-58 Tahun.

Para kader HMI tentu telah mengetahui salah satu lembaga semi otonom bernama Korps HMI Wati (Kohati). Sejak didirikan pada 17 September 1966, Kohati membuka ruang bagi para HMI Wati agar peka dalam isu dan permasalahan yang tidak hanya berkaitan dengan kesetaraan gender atau kekerasan seksual saja. Terbinanya muslimah yang berkualitas insan cita merupakan tujuan mendasar Kohati, dengan fokus utamanya adalah pengembangan intelektual, spiritual dan kepemimpinan.

Secara keorganisasian, Kohati merupakan lembaga semi otonom yang bersifat integral. Dalam tiap periode kepengurusan, mulai dari Pengurus Besar (PB) sampai komisariat, ketua kohati akan menempati jabatan ketua bidang keperempuanan. Dapat dikatakan bahwa HMI dan Kohati menjadi kesatuan yang tidak dapat terlepas atau terpisahkan. Karena hubungan integral antara HMI dan Kohati, maka spekulasi penulis ialah "apabila produktivitas kader HMI telah hanyut dalam arus pragmatis yang mematikan daya kritis, maka Kohati pun juga akan terbawa arus tersebut".

Kohati Saat Ini...

Independensi telah luntur dibawah ketiak kekuasaan demi kepentingan sesaat dengan sepercik harapan akan dibalas, jika menang nantinya. Itulah sebabnya, kader HMI memberi sebuah citra yang begitu pragmatis. Tindakan yang begitu mencerminkan sebuah fenomena politisasi himpunan menghalalkan segala cara demi kekuasaan. Kongres 2023 lalu telah menunjukkan rapuhnya independensi demi kepentingan sesaat, dan terjadi benturan kepentingan. Dualisme kepemimpinan menjadi perbincangan dan membuat heboh, karena ulah segelintir kelompok. Semestinya Kongres menjadi ajang kandidat bertarung secara akal sehat, justru dinodai oleh para pemodal dan dibuat gerbong-gerbong. Tindakan yang mencerminkan citra yang buruk, menghalalkan segala cara demi kekuasaan.

Kohati kehilangan arah juangnya dari segi organisasi maupun masyarakat, dapat dilihat pada beberapa tahun belakangan. Sangatlah naif!, Kohati PB sampai komisariat hanya berfokus pada isu-isu politik seperti 50% kuota perempuan dengan memakai istilah Independent Woment yang disematkan kepada alumni. Tidak ada upaya menyelenggarakan sebuah forum atau pelatihan-pelatihan untuk mengorganisir masyarakat tertindas dengan prioritas utamanya buruh, tani perempuan yang mengalami kekerasan fisik karena konflik di pabrik ataupun masalah agraria.

Dalam perhelatan pengkaderan, narasumber yang menjadi prioritas utama adalah alumni mempunyai jabatan strategis, seperti komisioner KPU, Bawaslu, DPR dan pemangku jabatan lainnya. Bahkan tanpa rasa malu, berkampanye dalam forum perkaderan dan dipolitisasi. Seusai mengikuti jenjang pengkaderan, hanya menunggu momentum musyawarah untuk mencalonkan diri sebagai ketua ataupun masuk struktur.

Kedekatan alumni dengan kekuasaan sesungguhnya ikut mempengaruhi pandangan kader-kader. Itulah mengapa pada hari ini, para HMI Wati terobsesi mengikuti jejak para alumninya agar terkesan elitis, ketimbang militansi seorang aktivis. Hal ini yang sekiranya membuat kader-kader amat berat dalam membangun, melancarkan dan menguatkan gerakan-gerakan progresif. Maka tak heran, untuk memperjuangkan kepentingan keumatan, kebangsaan, apalagi kerakyatan. Sistem yang tertata dari PB sampai komisariat mendorong terlibat aktif dalam program-program yang menempatkannya menjadi suporter dari penguasa.

Perlukah dibubarkan?

Olehnya itu, Perjuangan kedepannya mesti diarahkan untuk membela kaum tertindas, bukan malah menjadi pembela penguasa. Kohati harus sungguh-sungguh mengembangkan dirinya menjadi seorang perempuan yang progresif-revolusioner untuk senantiasa melakukan perjuangan pembebasan. Dan mengcounter isu-isu yang berunsur seksisme. Gerakan tidak harus didikte, terkooptasi atau diintervensi oleh siapapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun