Dalam beberapa diskursus mengenai filsafat manusia, para filosof mempunyai metodologi tersendiri, sehingga banyak istilah yang dapat ditemukan. Seperti halnya, Â manusia adalah hewan yang berpikir, humanisme dan istilah-istilah lainnya.
Pada kesempatan kali ini, penulis akan sedikit mendeskripsikan tentang filsafat manusia dalam corak pemikiran filosof muslim tradisi shadrian, yakni Ayatullah Murthada Muthahhari ---semoga Allah swt. meridhoinya.
Murtadha Muthahhari dalam tema-tema besar pemikiran filsafatnya, mendeskripsikan manusia sebagai eksistensi yang secara alamiah mempunyai watak, insting dan fitrah. Diantara ketiganya, masing-masing mempunyai tingkatan tersendiri.
Watak merupakan sifat dasar yang dimiliki oleh manusia, hewan, maupun benda-benda lain. Dalam pemetaannya, penulis akan mencontohkan secara sederhana, misalnya; si A itu rajin, Â kucing suaranya meong dan batu itu keras. Tentunya, hal ini adalah identitas yang melekat secara alamiah (inheren) dan mempunyai karakteristik tersendiri.
Sedangkan, insting merupakan suatu hal yang mengacu pada manusia dan hewan dengan aspek-aspek material. Seperti, makan, tidur, kebutuhan biologis, dll. Tak dapat dipungkiri bahwa, hal-hal bersifat insting mempunyai pengaruh kuat. Apabila manusia melakukannya secara tak terkontrol, maka akan mempengaruhi tindakannya dan bahkan manusia akan lebih rendah daripada hewan. Olehnya itu, diperlukan keseimbangan.
Adapun fitrah, yakni sesuatu yang ada dalam diri setiap manusia untuk melakukan hal-hal yang baik. Dalam kehidupan sehari-hari, fitrah yang masih bersifat potensi akan mendorong manusia pada perbuatan agar dapat menjadi aktual. Misalnya, para mahasiswa yang menggalang dana untuk membantu korban yang mengalami musibah, meskipun korban tidak dikenali. Sekiranya, fitrah akan tampak pada realitas dengan nilai-nilai kemanusiaan, tanpa memandang suku, ras, agama maupun ideologi-ideologi tertentu.
Lalu pertanyaan mendasarnya; jika manusia cenderung berbuat baik untuk membantu manusia lainnya, bagaimana dengan seseorang yang ingin membantu teman/keluarganya, namun dari hasil curian? Â Bukankah ini juga merupakan fitrah?
Maka disini penulis akan meletakkan jawaban sebagai hipotetis bahwa, fitrah memerlukan pengetahuan (epistemologi) dan syariat (agama), agar selaras.
***
Keselarasan antara pengetahuan (epistemologi) dan syariat (agama) yang akan membawa manusia pada sesuatu yang hanif demi kesempurnaan jiwanya.
Wallahualam bisawab.