Mohon tunggu...
Anan Mujahid
Anan Mujahid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Kuliah Subuh

Seorang pemuda yang sedang mencari sisi normatif dan kepastian hukum untuk menjawab teka-teki keadilan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Refleksi Fitrah

22 Juli 2024   20:32 Diperbarui: 22 Juli 2024   20:51 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam beberapa diskursus mengenai filsafat manusia, para filosof mempunyai metodologi tersendiri, sehingga banyak istilah yang dapat ditemukan. Seperti halnya,  manusia adalah hewan yang berpikir, humanisme dan istilah-istilah lainnya.

Pada kesempatan kali ini, penulis akan sedikit mendeskripsikan tentang filsafat manusia dalam corak pemikiran filosof muslim tradisi shadrian, yakni Ayatullah Murthada Muthahhari ---semoga Allah swt. meridhoinya.

Murtadha Muthahhari dalam tema-tema besar pemikiran filsafatnya, mendeskripsikan manusia sebagai eksistensi yang secara alamiah mempunyai watak, insting dan fitrah. Diantara ketiganya, masing-masing mempunyai tingkatan tersendiri.

Watak merupakan sifat dasar yang dimiliki oleh manusia, hewan, maupun benda-benda lain. Dalam pemetaannya, penulis akan mencontohkan secara sederhana, misalnya; si A itu rajin,  kucing suaranya meong dan batu itu keras. Tentunya, hal ini adalah identitas yang melekat secara alamiah (inheren) dan mempunyai karakteristik tersendiri.

Sedangkan, insting merupakan suatu hal yang mengacu pada manusia dan hewan dengan aspek-aspek material. Seperti, makan, tidur, kebutuhan biologis, dll. Tak dapat dipungkiri bahwa, hal-hal bersifat insting mempunyai pengaruh kuat. Apabila manusia melakukannya secara tak terkontrol, maka akan mempengaruhi tindakannya dan bahkan manusia akan lebih rendah daripada hewan. Olehnya itu, diperlukan keseimbangan.

Adapun fitrah, yakni sesuatu yang ada dalam diri setiap manusia untuk melakukan hal-hal yang baik. Dalam kehidupan sehari-hari, fitrah yang masih bersifat potensi akan mendorong manusia pada perbuatan agar dapat menjadi aktual. Misalnya, para mahasiswa yang menggalang dana untuk membantu korban yang mengalami musibah, meskipun korban tidak dikenali. Sekiranya, fitrah akan tampak pada realitas dengan nilai-nilai kemanusiaan, tanpa memandang suku, ras, agama maupun ideologi-ideologi tertentu.

Lalu pertanyaan mendasarnya; jika manusia cenderung berbuat baik untuk membantu manusia lainnya, bagaimana dengan seseorang yang ingin membantu teman/keluarganya, namun dari hasil curian?  Bukankah ini juga merupakan fitrah?

Maka disini penulis akan meletakkan jawaban sebagai hipotetis bahwa, fitrah memerlukan pengetahuan (epistemologi) dan syariat (agama), agar selaras.

***
Keselarasan antara pengetahuan (epistemologi) dan syariat (agama) yang akan membawa manusia pada sesuatu yang hanif demi kesempurnaan jiwanya.

Wallahualam bisawab.

*) Tulisan ini telah posting di akun Facebook Jakfi Papua Barat

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun