[caption id="" align="alignleft" width="300" caption="ghoswriter indonesia"][/caption] Kompas edisi Rabu, 8 Februari 2012 memaparkan fenomena bermunculannya tulisan dari para anggota dewan. Kasihan, berhubung pamor anggota dewan sudah sedemikian cela, maka hasil publikasi mereka pun mengundang pertanyaan: bener nggak sih itu tulisan mereka? Tidak semua anggota dewan itu bodoh. Bisa jadi ada juga yang bodoh banget. Yang pinter pastinya juga tidak sedikit. Tapi, apa iya dari sekian ratus anggota dewan tidak ada yang bisa menulis? Mestinya ada kalau kita mau bernalar positif. Tengok saja tulisan Angie di blog-nya. Cukup memikat, biar pun mungkin ada tangan editor di belakang layar. Dan jangan lupa. Negara menyiapkan dana jutaan rupiah untuk membayar beberapa tenaga ahli di sekeliling tiap anggota dewan. Jadi, apa anehnya kalau di publik bertebaran tulisan aktual, tajam, dan terpercaya berlabel nama seorang anggota dewan? Di luar itu, sangat mudah menyewa jasa ghostwriting. Siapkan saja dana sekian ratus ribu (boleh rupiah atau dollar juga tak ditolak) dan ghostwriting siap menjalankan tugasnya dengan cekatan. Cukup dengan duduk santai sambil menghirup capucino, ngobrol sana-sini dan jadilah sebuah artikel memikat, khas cara bertutur si anggota dewan. Kehadiran ghostwriter (kalau benar memang ada yang memakai jasa mereka di Senayan) tentu saja sah. Sepanjang memenuhi akal budi dan profesionalitas a laghostwriter putih. Yang putih itu ya pastinya bukan ghostwriter yang nyambi melacur, menjual tulisan pribadi untuk dilabeli nama si anggota dewan dengan imbalan tertentu. Sebab sejatinya, ghostwriter bermartabat tetap dibutuhkan. Banyak orang cerdas tapi terbata-bata saat diminta berbicara dan menulis secara runtut. Di titik itulah ghostwriter mendapat ruang. Bagaimana "biasanya" seorang ghostwriter berinteraksi dengan kliennya? Prinsipnya adalah alih gagasan, dari bahasa lisan ke bahasa tulisan. Klien bakal menyediakan diri dan waktu (dan juga imbalan) yang disepakati terlebih dahulu dengan si ghostwriter. Kalau sudah deal, bertemulah mereka dan mengobrol. Untuk membuat artikel pendek, cukuplah dengan wawancara sesaat. Bisa sejam dua jam. Si ghostwriter bakal bertindak a la jurnalis dengan menyiapkan daftar pertanyaan agar obrolan tidak melantur. Bila jasa ghostwriting diperlukan untuk membuat buku, maka tentulah proses itu menjadi lebih panjang. Perlu pertemuan intens beberapa kali. Dimulai dari menggali gagasan utama, merancang outline naskah, wawancara per bab, hingga diskusi penyelarasan akhir. Terkadang, ghostwriter bertindak pula sebagai editor naskah dan penghubung ke penerbit. Kalau sudah begitu, maka probabilitas gagasan si tokoh sampai ke publik dalam rupa buku menjadi membesar. @Anang Y.B.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H