Sudahkah kalian merasakan kegagalan pemerintah dalam menangani korona ini? Aturan larangan mudik tidak terintegrasi. Kategori pemudik yang bisa pulang ke daerah asalnya tidak terperinci. Daerah PSBB tidak benar-benar melarang orang dalam kota keluar ke daerah lain yang belum tentu di daerah asal pemudik tersebut diperiksa secara rinci.
Jangan dulu membayangkan integrasi antar provinsi dalam satu pulau. Antar kota dalam satu provinsi saja orang bisa pergi dengan mudah. Aturan larangan mudik bisa diakali dengan surat tugas yang ternyata bikinan sendiri atau cara yang klasik dengan berangkat pada waktu subuh karena minim penjagaan.
Peraturan larangan mudik akhirnya tidak berada pada tahap pelaksanaan nyata di lapangan. Â Tidak ada pemeriksaan orang keluar dengan maksud pulang kampung. Kalau perintahnya larangan ya larangan. Semua dilarang keluar dan masuk kota. Nah ini orang yang menggunakan kendaraan pribadi masih bisa keluar masuk. Aturan larangan ini hanya sebatas imbauan. Kalau masih begitu mobile, kapan pademi ini mau selesai?
Perantau akhirnya punya kesadaran diri untuk tidak mudik. Demi menjaga keluarganya atau yang lebih besar ikut sumbangsih mempersempit pergerakan manusia. Bukan karena pemerintah yang berubah-ubah melakukan kebijakan. Kalau semua atas peran masyarakat, lalu apa peran pemerintah?
Secara sadar atau tidak korona ini membuka skill sebenarnya pemimpin daerah kalian. Coba perhatikan respon Bupati/Walikota atau Gubernur tempat kalian tinggal. Adem ayem saja, buat aturan yang berubah-rubah atau malah membuat peraturan yang inovatif.
Ada dua tipe pemimpin dalam merespon pandemi ini. Pemimpin administatif dan pemimpin kreatif.
Pemimpin administratif ini model pemimpin zona nyaman, birokratis dan berjalan sesuai aliran saja.
Ayem dan tenang. Masyarakatnya tidak merasakan dampak kepemimpinannya. Kadang sadarnya ketika masa jabatannya sudah habis. Sudah selesai to 5 tahunya, kok tidak kerasa.
Pemimpin model ini akan aman sampai 5 tahun kepemimpinannya selama ia tidak korupsi atau meninggal. Tetapi masa pandemi ini tentu saja mengusik zona nyaman mereka. Biasanya yang hanya santai, sekarang jadi harus memikirkan langkah yang tepat untuk rakyatnya. Baru sadar sekarang mau tidak mau harus membuat kebijakan. Â Berhadapan dengan rakyat yang lagi rentan. Salah sedikit bisa buat warga geram.
Akhirnya yang muncul hanyalah aturan yang ala kadarnya. Jurus yang paling mudah  tentu saja dengan himbauan. Tidak ada kebijakan lain yang jelas untuk menghentikan penyebaran korona di daerah mereka.
Bisa saja membuat kebijakan. Tetapi karena tidak terbiasa membuatnya maka kebijakan yang keluar sama sekali tidak jelas dan berubah-ubah. Misalnyanya tidak perlu PSBB karena mengandalkan inisiatif warga tiap kelurahan. Begitu kasusnya membludak, akhirnya mempertimbangkan PSBB. Ralat tidak perlu, eh dua hari kemudian setuju lagi. Apa tidak membingungkan?
Kedua adalah tipe pemimpin kreatif.
Pemimpin ini udah biasa membuat kebijakan yang terukur dan punya analisa yang jelas. Jadi ketika ada masalah pandemi ini mereka dengan sigap membuat kebijakan yang cepat dan tanggap.
Mereka punya data dan rutin menyebarkan ke media sosial. Kebijakannya pun punya langkah yang jelas. Misal untuk mengurangi pemudik yang kembali ke daerahnya, mereka memberi intensif bantuan bagi perantau agar dapat bertahan di daerah perantauan. Analisanya jelas. Orang jangan sampai pulang yang ke daerah asalnya. Langkahnya yaitu dengan memberi bantuan agar bisa bertahan. Bukan sekedar himbauan yang tentu saja tidak dapat membuat perut kenyang.
Ketika ada kekurangan atau tingkat keefektifan  belum mencapai 100%, kebijakan pemimpin model ini masih bisa diterima warganya kok. Kritik sana sini wajar saja. Kritik karena ada kebijakan lebih baik daripada kritik agar pemimpin membuat kebijakan.
Sayangnya model pemimpin administratif lebih banyak terpilih. Karena mereka biasanya didukung oleh organisasi keagamaan atau partai. Pemimpin ini banyak dekat dengan tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh politik. Sehingga pengaruhnya cukup kuat di masyarakat yang masih memandang secara ketokohan saja.
Memilih pemimpin harus nya berdasarkan skill kepemimpinan yang kreatif. Bukan hanya karena didukung oleh organisasi keagamaan dan partai yang besar saja. Ingat kita memilih pemimpin rakyat bukan ketua keagamaan atau partai politik.
Ibarat memilih pelatih bola, Pilihlah yang punya skill melatih yang jago. Bukan orang yang dianggap bisa melatih karena didukung oleh kelompok suporter yang belum tentu semua paham skill melatih seperti apa.
Tulisan ini sebenernya ditulis ketika masa PSBB menjelang hari raya. Tetapi belum sempat di upload. Tapi tidak apa-apa. Sedikit relevan lah ya hehe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H