Mohon tunggu...
Anang Syaifulloh
Anang Syaifulloh Mohon Tunggu... Freelancer - Akun Pribadi

Pengagum Bapak Soekarno, namun untuk masalah wanita belum seahli beliau

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Masih Mau Menjadi Budak Rating TV?

8 April 2019   13:00 Diperbarui: 8 April 2019   14:44 1813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama hampir empat tahun kuliah, praktis saya jarang melihat acara TV. Kontrakan tidak menyediakan televisi tetapi kami memasang WiFi. Sebenarnya kalau ingin, saya bisa streaming di internet. Tapi itu hanya saya lakukan pada siaran langsung bola, entah itu Liga Eropa ataupun Liga Indonesia. Acara TV Indonesia gitu-gitu aja. Bosen.

Salah satu faktor kesuksesan acara TV adalah rating. Karena semakin tinggi rating, maka peluang iklan yang di dapat akan semakin besar. Sebagai contoh adalah program Super Bowl Sunday yang mendapat rating tinggi di Amerika. Harga iklan di acara ini mencapai 4 juta dolar per 30 detik.

Mau tidak mau acara lain jika ingin sukses harus mengikuti acara yang memiliki rating tinggi. Proses meniru lebih mudah daripada menciptakan sebuah acara baru yang belum tentu memiliki rating tinggi. Contohnya adalah YKS. Acara yang sempat booming beberapa tahun lalu ini ditiru oleh stasiun TV lain dengan beda sedikit dalam pengemasan. Akhirnya semua TV memiliki acara yang serupa. Lagi-lagi bosan.

Saya tidak pernah mengikuti tren menonton acara tersebut. Bisa dibilang dari acara joget, dangdut kemudian acara lawak tidak ada satupun yang menjadi tontonan sehari-hari. Karena semua TV menyediakan acara yang sama, maka solusi saat itu adalah memilih untuk tidak melihat TV.

Pandji Pragiwaksono dalam World Tour "Juru Bicara" pernah membahas tentang rating ini. Menurutnya rating mematikan kekreatifan acara. Program seragam. Setiap program yang memiliki rating tinggi pasti akan ditiru oleh stasiun TV sebelah. Karena yang dikejar adalah rating. Apabila rating tinggi maka uang dari iklan yang masuk juga tinggi.

Bosan dengan Acara TV yang gitu-gitu aja (Ilustrasi: es.pngtree.com)
Bosan dengan Acara TV yang gitu-gitu aja (Ilustrasi: es.pngtree.com)

 

Rating tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas acara. Acara bagus belum tentu mendapat rating yang tinggi pula. Bisa saja acara yang jelek dan hanya mengandalkan kehebohan mendapat rating yang tinggi.

AC Nielsen adalah satu-satunya Lembaga yang mengukur tingkat rating ini. Metodenya adalah menempatkan alat surveI di beberapa rumah untuk memantau acara yang dilihat oleh keluarga tersebut. Tetapi metode ini dikritik karena jumlah sampel panel TAM di Indonesia hanya 2200 penonton. Bandingkan dengan jumlah populasi televisi yang mencapai 45 juta.

Tetapi tidak semua stasiun televisi berhamba pada rating ini. Net TV dan Kompas TV menjadi contoh. Pangsa pasar mereka adalah anak muda yang bosan dengan acara TV yang monoton dengan menghadirkan acara yang berkualitas. Daripada menyajikan sinetron atau acara joget, mereka lebih memilih dengan membuat acara talkshow dengan format baru dan sitcom dengan tema-tema yang belum pernah ada sebelumnya.

Acara SUCI (Stand Up Comedy Indonesia) yang tayang di Kompas TV mendapat respon positif dari pemirsa. Apalagi anak muda. Belum pernah program seperti ini. Meskipun akhirnya TV mainstream lain ikut-ikutan, tapi belum ada yang dapat menyaingi acara SUCI ini.

Net TV sendiri memiliki program sitkom The East yang menyuguhkan drama anak kantor di Net sendiri. Drama dengan konflik ringan ala anak kantor menjadi pembeda dengan drama sinetron yang lebih memilih konflik ringan tapi memusingkan kepala. Selain itu ada program Ini Talk Show dan Tonight Show yang memberi konsep beda dalam penyajian sebuah reality show. Intinya program ini tidak menjual gossip, berbeda dengan stasiun TV lain.

Belum lagi dengan kehadiran Netflix, Iflix dan YouTube. Netflix dan Iflix memiliki konsep yang sama yaitu menerapkan biaya bulanan untuk melihat tontonan channel. 

Berbeda dengan YouTube yang menggratiskan biaya untuk views tetapi memasang iklan untuk mendapat keuntungan. Ketiganya menyediakan tontonan digital yang tidak mengggunakan system lama rating sebagai tolak ukur.

Netflix dan IIflix menyediakan film yang berkualitas tinggi dengan pengerjaan yang sungguh-sungguh. Cerita yang dikembangkan berbeda dengan sinetron yang ada. Berbagai macam tema cerita menjadi pilihan. YouTube sendiri menyediakan beberapa channel yang menyajikan sisi lain. Petualangan, drama mini, vlog menarik yang belum pernah ada di TV nasional.

Rating harusnya bukan menjadi panduan utama kesuksesan sebuah acara TV. Karena bukan kualitas yang dicari, namun kehebohan dan sensasilah yang akan memberi dampat rating tinggi. Stasiun tidak selamanya menyuguhkan program yang hanya dimau oleh masyarakat saja. Tetapi lebih memberi ide baru yang segar yang mungkin belum pernah di dapat oleh masyarakat. Itukan guna sebuah tim kreatif?

Henry Ford sendiri berfikir seperti itu. Saat itu jika ditanya masyarakat butuh apa maka jawabnya adalah kuda-kuda yang cepat. Tapi Henry Ford berfikir lebih maju. Harus ada pengembangan alat transportasi baru yang melebihi kuda. Bukan menciptakan kuda yang lebih cepat, tetapi dia memilih mengembangkan mobil yang saat itu belum popular. Hasilnya, sebuah industrialisasi mobil sehingga besar sampai saat ini.

Meskipun begitu saya tidak membenci program-program yang hanya mengejar rating tersebut. Tidak juga mencap orang yang melihat acara tersebut memiliki selera yang rendah. Ibu dan bapak saya menjadi penonton setia sebuah acara dangdut yang setiap hari tampil. Apakah lantas saya membenci selera ibu saya?

Mungkin acara itulah yang menjadi penghibur masyarakat desa setelah seharian bekerja. Sebuah hiburan gratis yang hanya bermodalkan TV dan listrik. Beda halnya dengan Netflix yang harus membayar biaya bulanan. Saya tidak membeci acara dan selera orang tersebut. Hanya Selera kita yang berbeda. Saling menghargai.

Sumber : satu dua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun