Seminggu terakhir masyarakat Jakarta dan sekitarnya disuguhkan kemegahan dan kemudahan transportasi baru. Setelah KRL, mereka siap dimanjakan dengan MRT. Masyarakat antusias. Sampai-sampai menjadikan stasiun MRT sebagai tempat piknik dadakan. Katrok ga sih?
Sebenarnya, proyek MRT sudah direncakan sejak tahun 1985. Tetapi saat itu proyek ini belum masuk rencana nasional. Baru tahun 2005, pemerintah akhirnya menyetujui proyek ini menjadi rencana proyek nasional. Menjadi wajar apabila masyarakat Jakarta menyambut MRT ini dengan suka cita.
Banyak gambar-gambar beredar di sosial media menunjukkan antusias warga untuk merasakan naik MRT. Ada beberapa yang sampai menggelar tikar dan makan bareng keluarganya. Ada juga yang membuang sampah sembarangan. Bahkan ada yang menyuruh anaknya pipis di sudut ruang stasiun!
Culture Shock yang dialami masyarakat Jakarta hampir sama yang dialami masyarakat Lombok ketika bandara baru dibuka di wilayah Lombok Tengah. Pekan pertama ini dibuka, bandara ini layaknya seperti pasar. Orang berbondong datang untuk melihat pesawat naik dan turun. Bagi sebagian dari mereka, kejadian itu hanya bisa dilihat melalui tv. Sekarang secara langsung.
Perilaku seperti itu mungkin terlihat aneh, tapi bisa saja ini adalah kritik sosial bagi pemerintah. Pembangunan masih belum merata dan terlambat. Masyarakat timur masih banyak yang kagum dengan pesawat. Bandara dibangun gencar mungkin masih dalam 10 tahun ini. Bisa juga masyarakat kekurangan tempat piknik yang murah hingga datang ke bandara hanya untuk melihat pesawat.
Masyarakat Jakarta harusnya bisa lebih mengendalikan Culture Shock yang mereka alami. Beda dengan Masyarakat Lombok adalah mereka baru melihat dan merasakan satu mode transportasi untuk pertama kali . Sedangkan bagi masyarakat Jakarta MRT ini adalah mode transportasi yang kesekian. Sebelumnya sudah ada Pesawat, Kereta Api, KRL. Bandingkan dengan Lombok yang baru ada Pesawat.
Ditengah Culture Shock yang memalukan itu, ternyata masih ada budaya antri. Sebuah gambar yang beredar di sosmed memperlihatkan jejeran orang yang antri ingin menaiki MRT ini. Penyesuaian budaya ini memerlukan waktu. Tidak langsung ketika budaya baru disosialisasikan seketika itu juga masyarakat menjadi tertib.
Jepang sudah lama menerapkan konsep Zero Waste di stasiun MRT. Tidak banyak tempat sampah yang ditempatkan. Tujuannya adalah agar pengunjung dapat menahan diri untuk tidak menghasilkan sampah. Kemudian di dalam gerbong sendiri mereka tidak membawa makanan atau minuman yang menghasilkan sampah.
Konsep ini yang juga diterapkan oleh PT MRT Jakarta. Tempat sampah hanya terletak di toilet dan area ritel stasiun. Tidak mengherankan apabila masyarakat masih kaku dengan kebiasaan ini. Ada yang mengeluh kebingungan sehingga sosialisasi harus lebih gencar.
Fenomena ini memancing perdebatan dalam diri saya sendiri. Sebenarnya edukasi warga (moral) dulu baru sediakan fasilitas atau beri fasilitas yang memadai dulu baru moral akan mengikuti. Moral lalu fasilitas apa fasilitas baru moral? Akan coba saya bahas di tulisan selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H