Mohon tunggu...
Anang Fathoni
Anang Fathoni Mohon Tunggu... Lainnya - Long-Life Learner

IG : @anang_fathoni Email : ananglight@gmail.com https://linktr.ee/anang_fathoni

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Masa Remaja dalam Perspektif Budaya

15 Desember 2021   06:14 Diperbarui: 15 Desember 2021   06:39 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Biologicam Model Applied to School Completion, sumber gambar: buku Adolescence, Santrock, 2016

Pada dasarnya setiap lingkungan dari seorang remaja memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Pada pembahasan di bagian 'Persahabatan" telah disebutkan bahwa hubungan keluarga turut memberikan pengaruh pada seorang anak dalam berhubungan dengan temannya. Relationships with parents are the prototype for peer relationships: Healthy communication and support from parents make constructive peer relationships likely (Berger, 2015: 519). Dalam penelitian psikologis remaja, penting untuk mempertimbangkan bagaimana masyarakat yang berubah, mempengaruhi kondisi sosial dan peluang untuk berkembang dari remaja (Hammer, 2005: 81). Sejatinya dari sudut pandang Ekologi, hal ini tentu bisa sangat luas, seperti yang ditampilkan pada gambar dibawah ini.

Budaya adalah perilaku, pola, kepercayaan, dan semua produk lain dari kelompok orang tertentu yang diturunkan dari generasi ke generasi (Santrock, 2016: 430). Peranan budaya disetiap lingkungan turut memberikan pengaruh kepada remaja. Ketika budaya yang baik muncul di Sekolah, yaitu misal pada hubungan guru yang mendukung minat siswa, dan memberikan kepercayaan berkembang antar siswa dan guru akan memberikan pengaruh positif kepada remaja yang dalam hal ini sebagai siswa (Neild, 2009; Strom & Boster, 2007 dalam Hauser-Cram et al, 2014: 584). Mari kita melihat dari sudut pandang MacroSystem, yang terdiri dari kepercayaan dan ideologi menyeluruh dari suatu budaya atau subkultur.

Pencapaian matematika dan sains lebih tinggi diperoleh remaja Asia dibandingkan dengan remaja Amerika Serikat (Santrock, 2016: 404). Satu studi mengungkapkan bahwa dari awal kelas tujuh hingga akhir kelas delapan, remaja Amerika kurang menghargai akademisi dan menjadi kurang termotivasi untuk berprestasi di sekolahnya, sebaliknya nilai yang diberikan pada akademisi oleh remaja Cina tidak berubah dalam kerangka waktu ini dan motivasi akademis yang juga mereka pertahankan (Wang & Pomerantz, 2009). Namun studi baru-baru ini menemukan bahwa dari tahun 1990 hingga 2007, anak-anak China berusia 18-65 tahun semakin memasuki karakteristik indiviualistis tentang apa yang membentuk kebahagiaan dan kesejahteraan mereka (Steele & Lynch, 2013 dalam Santrock, 2016: 405). Berikut ini tabel rata-rata dalam seminggu, termasuk hari kerja dan akhir pekan yang dihabiskan oleh remaja di Amerika serikat, Eropa dan Asia Timur (Santrock, 2016: 406).

Average Daily Time Use Of Adolescents In Different Regions of The World, sumber gambar: buku Adolescence, Santrock, 2016
Average Daily Time Use Of Adolescents In Different Regions of The World, sumber gambar: buku Adolescence, Santrock, 2016

Dari tabel tersebut bisa diketahui bahwa remaja AS menghabiskan lebih banyak waktu dalam kegiatan tersturktur seperti olahraga, hobi dan organisasi dibandingkan remaja Asia Timur.  Pekerjaan sekolah dan jam kerja diluar skeolah didapatkan oleh remaja di Asia timur lebih banyak dibandingkan dengan wilayah Eropa dan Amerika. Semua aktivitas tersebut tentu akan memberikan pengaruh pada pola pikir yang ada. Tentunya kontak yang luas antara orang dari latar belakang budaya dan etnis dengan cepat memberi norma tersendiri. Banyak negara di timur seperti jepang, cina dan india berorientasi pada kelompok, termasuk budaya di meksiko, berbeda dengan budaya barak yang mengarah ke individualistis (Santrock, 2016: 403).

Tentunya dalam kelompok budaya yang berbeda memiliki ide yang berbeda pula tentang belajar. Misalnya terdapat model of learning yang dipakai oleh pembelajaran di Asia Timur untuk menekankan pentingnya ketekunan, pengerahan tenaga, daya tahan, ketekunan dan konsentrasi. Model ini disebut Cultural Learning Models menjadi kerangka umum yang penting dlaam pembelajaran (Hauser-Cram et al, 2014: 585). Contohnya, terdapat pandangan China tentang pembelajaran yang berakar dari pengajaran Konfusianisme (Li, 2011 dalam Hauser-Cram et al, 2014: 585). Dalam pandangan ini, siswa remaja yang pembelajarannya buruk adalah karena mereka kurang memiliki keinginan untuk belajar atau bersikap sombong. Sebaliknya model pembelajaran di Eropa-Amerika sebagian besar didasarkan pada filsafat Yunani, yang menekankan keterlibatan aktif dlaam pembelajaran, keingintahuan pribadi, pemikiran, penyelidikan dan komunikasi verbal (Li & Fischer, 2004 dalam Hauser-Cram et al, 2014: 585). Maka dalam hal ini siswa yang memiliki pembelajaran yang buruk karena mereka tidak peduli dengan tantangan atau dipimpin oleh motivasi ekstrinsik, tidak sampai motivasi intrinsik dalam belajar. Studi lintas budaya, yaitu misal dalam hal gander misalnya, pengalaman yang diperoleh remaja laki-laki dan perempuan akan menjadi pemisahan yang berbeda di beberapa negara dengan budayanya. Misalkan laki-laki memiliki akses jauh lebih besar ke peluang pendidikan, lebih banyak kebebasan untuk mengejar berbagai karir dibandingkan dengan perempuan (UNICEF, 2014 dalam Santrock, 2016: 404).

Teman mungkin penting dalam membantu remaja dan orang tua dalam merekonsiliasi budaya, tradisi, dan keinginan yang saling bertentangan (Berger, 2010: 484). Pada keluarga imigran yang tinggal di lingkungan kota, tentunya akan memberikan budaya berbeda pada pengalaman hidup di negara sebelumnya (Hauser-Cram et al, 2014:597). Imigrasi dari Yaman ke Amerika Serikat, dimana Yaman membolehkan mengunyah qaat (narkotika ringan) yang legal disana dan illegal di Amerika serikat, akan menjadi pertentangan emosional seseorang (Berger, 2010: 485). Remaja yang berada di lingkungan tersebut cenderung akan sering membandingkan kehidupan mereka saat ini dengan pengalaman mereka di negara yang mereka tinggalkan. Pemuda imigran Asia mungkin sangat membutuhkan teman (Berger, 2010: 485). Hal ini tentunya akan berbeda dengan karakteristik pemuda Amerika serikat yang lebih bersikap individualis. Orang-orang dari setiap etnis cenderung berteman dengan orang lain dari latar belakang yang sama (McPherson et al., 2001 dalam Berger, 2010: 485). Karena seperti yang kita bahas di bagian "persahabatan" bahwa sahabat sangat penting pada masa remaja, sehiarusnya tidak mengejutkan bahwa remaja imigran akan saling bergantung satu sama lain. Berikut ini gambaran Sensus kependudukan, pemuda AS di empat kelompok etnis ketika ditanyai seberapa penting menurut mereka kewajiban keluarga dan berapa banyak waktu yang mereka habiskan setiap minggu untuk membantu keluarga mereka (misalnya dengan melakukan pekerjaan rumah tangga, mengurus saudara kandung atau bekerja di bisnis keluarga).

Family Obligation Attitudes & Time participants Spent Helping Their Families, sumber gambar: buku Adolescence, Santrock, 2016
Family Obligation Attitudes & Time participants Spent Helping Their Families, sumber gambar: buku Adolescence, Santrock, 2016

Orang tua imigran biasanya bergantung pada remaja mereka, dimana dalam hal ini selain membantu pekerjaan di rumah, remaja imigran juga menjadi penengah antara budaya lama dan baru (Tseng, 2004). Hal tersebut bisa juga menjadi konflik apabila orang tua berusaha mempertahankan praktik tradisional yang sangat berbeda dari budaya remaja saat ini di negara baru (Suarez-Orozco, 2001 dalam Berger, 2010: 483). Semua remaja imigran ingin menghormati orang tua mereka dan tetap menyesuaikan diri dengan teman sebaya yang memiliki budaya berbeda, terkadang menjadi kombinasi yang rumit ketika budaya baru dan lama memiliki sikap tentang pentingnya teman (Bukowski & Adams, 2006 dalam Berger, 2010: 483). Konflik bisa saja terjadi ketika tidak adanya fleksibilitas di keduanya, sehingga membuat emosional remaja tersebut bisa meledak-ledak sehingga timbul mental disorder.  Penghindaran konflik dalam keluarga perlu diatasi dengan meningkatkan toleransi orang tua terhadap tidakpastian dan rasa tidak aman seorang remaja, termasuk menciptakan ruang bagi anaknya untuk mengekspresikan semua perasaannya tanpa memprovokasi kecemasan pada orang tua (Micucci, 2009: 36).

Rohner & Pettengill (1985) dalam Micucci (2009: 43) melaporkan bahwa anak muda korea memandang orang tua sebagai orang yang memberikan kehangatan kepada mereka karena tingkat kehangatan dan investasi yang sangat tinggi dalam keluarga mendorong hasil remaja yang positif. Remaja yang dibesarkan dalam konteks budaya tertentu mungkin mengambil pandangan berbeda dalam kontrol orang tua. Sehingga budaya di negara-negara yang berlainan tentunya akan memberikan efek juga terhadap kebiasaan, sudut pandang, dan bagaimana seorang remaja berkembang. Termasuk bagaimana cara remaja tersebut memandang teman sebayanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun