Mohon tunggu...
Anang Fathoni
Anang Fathoni Mohon Tunggu... Lainnya - Magister Pendidikan Dasar, Universitas Negeri Yogyakarta

IG : @anang_fathoni Email : ananglight@gmail.com https://linktr.ee/anang_fathoni

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perjalanan Pendidikan Indonesia di Masa Kolonialisme

2 Januari 2023   13:31 Diperbarui: 2 Januari 2023   13:34 1857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kweekchool (Sumber : lenterakecil.com)

Penulis : Anang Fathoni, Amandariella Samahita Prasetyo, Linda Islamiati, Isna Nailul Fakhati, Lulu Soimatul Ghaniyah, Winarsih

Pendidikan tentu menjadi salah satu akar berkembangnya peradaban suatu bangsa. Melalui pendidikan, kualitas hidup manusia terus berkembang dalam segala aspek kehidupan yang sifatnya multidimensional. 

Salah satu perwujudan nyata perkembangan pendidikan dapat ditelusuri melalui catatan-catatan sejarah yang terabadikan. Telaah kritis perkembangan pendidikan suatu bangsa tentu dapat menjadi kajian reflektif yang memperlihatkan komparasi sisi positif dan negatif yang menjadi bagian dari peradaban itu sendiri.

Melalui artikel ini, penulis akan flashback dan melihat kembali sejarah perjalanan pendidikan pada zaman kolonialisme di Indonesia. Penulis akan melewai babak perjalanan pendidikan dengan basis pondok pesantren yang dipelopori Syeikh Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1399 M, dan pendidikan di masa Portugis.

Pada masa pemerintahan kolonialisme, faktor politik sangat berpengaruh bagi pelaksanaan pendidikan di Indonesia (Riska & Hudaidah, 2021). Pendidikan pada masa kolonialisme dapat dipetakan menjadi dua periode besar yaitu 1) pada masa berperannya Vereenigde Oost-indische Compagnie (VOC), dan 2) pada masa pemerintah Hindia-Belanda (Nederlands Indiesh) (Nasution, 2020). 

Pada masa VOC, kondisi pendidikan tidak lepas dari kepentingan komersial VOC yang mana hanya untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah terlatih dari pribumi. Pada awal abad ke-18, VOC mengalami kebangkrutan dan akhirnya pemerintahan diserahkan pada kerajaan Belanda di tahun 1816 (Nasution, 2020). 

Beberapa prinsip kerjaan Belanda yang dijadikan kebijakan dalam pendidikan di Indonesia seperti yang dijelaskan Nasution (2020) yaitu 1) Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu; 2) Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan, sehingga anak didik kelak mampu mandiri guna mendukung kepentingan colonial; 3) Sistem pendidikan diatur berdasarkan perbedaan lapisan sosial, terkhusus yang ada di Jawa; 4) Pendidikan diukur dan diarahkan dalam rangka melahirkan kelas masyarakat elit yang dapat digunakan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah Kolonial.

Pada umumnya, ciri dari politik pendidikan pada zaman belanda yaitu gradualisme, dualism, control sentral, keterbatsan tujuan, prinsip konkordinasi, dan tidak adanya rencana pendidikan (Riska & Hudaidah, 2021). Hal ini berkorelasi dengan apa yang disampaikan oleh Nasution (1983, p. 20) bahwa terdapat 6 karakteristik sistem pendidikan zaman Belanda, yaitu 1) terbatasnya penyediaan pendidikan bagi anak Indonesia; 2) kontradiksi dualism antara pendidikan untuk keturunan Belanda dengan pribumi; 3) control pendidikan tersentralisasi; 4) Pembatasan tujuan pendidikan bagi pribumi dan penggunaan sekolah untuk menghasilkan tenaga kerja kelas bawah; 5) prinsip pembelajaran di Indonesia sama dengan yang ada di Belanda; 6) kurangnya rencana pendidikan yang sistematis untuk pribumi.

Pada tahun 1817 di Batavia telah didirikan sekolah umum atau grammar school untuk orang Eropa, Lager Onderwijs en Lagere Scholen voor Europeanen, yang menjadi pelopor berdirinya Europeesche Lagere School (ELS) atau sekolah dasar pada zaman Belanda (Suratminto, 2013). Kebijakan yang dipegang oleh pemerintah Belanda menyebutkan bahwa peserta didik dari ELS merupakan semua anak Eropa dan mereka yang legal disamakan dengan orang Eropa (Saputra, 2022). 

Walaupun demikian, Suratminto (2013) menjelaskan bahwa pelaksanaan pendidikan bagi masyarakat pribumi baru dapat dilaksanakan setelah Raja Belanda mengeluarkan Certificate Law No. 95 tanggal 30 September 1848 dan pada tahun 1849, terbentuklah 20 sekolah yang ada di setiap ibu kota provinsi.

Kweekchool (Sumber : lenterakecil.com)
Kweekchool (Sumber : lenterakecil.com)

Pada tahun 1852, didirikan Kweekschool 'Teacher School' di Surakarta, dan pada tahun 1856 di Buktitinggi, yang merupakan sekolah dengan arah mencetak guru di zaman kolonialisme karena memang kebutuhan guru sangat tinggi pada masa itu (Suratminto, 2013). Tercatat bahwa Kweekschool dari tahun 1887-1892 menghasilkan lebih dari 200 guru (Fatimah & Firza, 2021). 

Para siswa di Kweekschool diajarkan bahasa Belanda, bahasa Melayu, matematika, geografi, sejarah, ilmu alam, pedagogi, menggambar dan music (Makmur et al, 1993, p. 34). Berlanjut pada tahun 1867 Hogere Burger School (HBS) yang setara dengan sekolah menengah, didirikan di Jakarta, tahun 1867 di Surabaya, dan Semarang pada tahun 1877. Pada mulanya, HBS tidak menerima peserta didik perempuan, hingga pada akhirnya di tahun 1891, anak perempuan diperbolehkan untuk bersekolah di HBS. Kurikulum yang diterapkan di Indonesia tidak berbeda dengan yang ada di negara Belanda dengan pendekatan teacher center (Saputra, 2022).

C.Th. Van Deventer (Sumber: idsejarah.net)
C.Th. Van Deventer (Sumber: idsejarah.net)

Pada tahun 1900-1930 muncul politik etis yang di dalamnya terdapat kebijakan edukasi, yang sebenarnya dalam pelaksanaannya masih tidak lepas dari kebijakan yang menguntungkan Belanda dan masih bersifat diskriminatif (Saputra, 2022). 

Politik Etis muncul karena pengaruh orang Belanda yang Bernama Van Deventer yang mengatakan bahwa Belanda telah maju dan disegani di dunia Eropa, sehingga tidak boleh begitu saja melupakan jasa penduduk pribumi yaitu Indonesia (Syaharuddin & Susanto, 2019, p. 37). Pada masa kebijakan politik etis, pelaksanaan program pendidikan masih menggunakan pendidikan gaya barat dengan melonggarkan peserta didik yang dapat bersekolah tidak hanya dari kaum bangsawan atau priyayi, namun masyarakat pribumi biasa dapat diberikan pendidikan (Riska & Hudaidah, 2021). 

Kebijakan politik etis juga menganjurkan program untuk memajukan kesejahteraan rakyat melalui perbaikan irigasi untuk meningkatkan produksi pertanian, dan menganjurkan transmigrasi dari pulau jawa yang pada penduduk ke tempat lain (Nasution, 2020). Politik Etis tampaknya menjadi kebijakan yang menarik ketika didengar, yang membuat simpati penduduk pribumi terhadap pemerintah kolonial dari konteks sosial-politik (Sultani & Kristanti, 2020). 

Padahal kebijakan etis sebenarnya merupakan upaya yang dirumuskan oleh para sarjana Belanda dalam konteks kelanjutan eksploitasi kekayaan Indonesia, dengan demikian kebijakan etis ini tidak dapat dipisahkan dari kepentingan kolonial, yang notabene merupakan intensifikasi dan eksploitasi koloni.

Organisasi Boedi Oetomo (Sumber: www.gramedia.com)
Organisasi Boedi Oetomo (Sumber: www.gramedia.com)

Rangkaian problematika dan diskriminatif yang dirasakan oleh rakyat Indonesia dan kehadiran kebijakan di bidang pendidikan membawakan dampak kontraproduktif tersendiri terhadap pemerintah kolonial belanda (Sultani & Kristianti, 2020). 

Hal ini karena kehadiran pendidikan justru memunculkan kelompok-kelompok terdidik yang nantinya mendorong tumbuhnya jiwa nasionalisme dan gerakan kemerdekaan di Indonesia. Kehadiran sekolah-sekolah di Indonesia menggugah rasa empati dengan melihat penderitaan rakyat kecil dan meningkatkan kesadaran politik kaum terpelajar untuk membentuk gerakan nasional Indonesia (Sumarno et al., 2019).

Catatan sejarah ini tergambar dalam organisasi Boedi Oetomo yang diprakarsasi oleh Soetomo dan kawan-kawannya, para pelajar STOVIA (School Tot Opleiding Van lnlondsche Artsen) untuk berkumpul di ruang Anatomi tanggal 20 Mei 1908 guna membicarakan bagaimana menyelesaikan diskriminasi yang menimpa pribumi saat itu (Marihandono et al. 2013). Selanjutnya, ketidakpuasan juga muncul dikalangan masyarakat biasa dan kaum perempuan. 

Melalui bantuan dari organisasi Boedi Oetomo, di tahun 1912, didirikanlah perkumpulan perempuan Bernama Poetri Mardika yang diketuai oleh  R.A Theresia Sabarudin dibantu oleh Sadikun Tondokusumo, R.A Sutinah Joyopranoto, dan Rr. Rukmini (Sari & Liana, 2019). Organisasi tersebut menjadi gerakan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, salah satunya pada bidang pendidikan. 

Hingga kemudian pada tahun 1920 memunculkan cita-cita baru secara menyeluruh di dunia pendidikan, yang dimulai dengan pendirian sekolah Muhammadiyah di awal tahun 1920an oleh K.H. Ahmad Dahlan, dan pendirian Taman Siswa oleh Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 3 Juli 1922 yang menjadi sekolah kaum pribumi.

Penulis:
1. Anang Fathoni (2201680846)
2. Winarsih (2201680850)
3. Linda Islamiati (2201680854)
4. Lulu Soimatul Ghinayah (2201680860)
5. Amandariella Samahita Prasetyo (2201680861)
6. Isna Nailul Farkhati (2201680872)

PPG Prajabatan Universitas Muhammadiyah Purwokerto

REFERENSI:
Fatimah, S. & Firza. (2021). Guru dan Kualitas Pendidikan di Indonesia Masa Kolonial dan Pasca Kemerdekaan. Diakronika, 21(2), 199-212.
Makmur, D., Haryono, P. S., Musa, S., Hadi S. (1993). Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Penjajahan. CV Manggala Bhakti.
Marihandono, D., Dienaputra, R.D., Pranoto, S.W., Warto, & Suprayitno. (2013). Makna Organisasi Boedi Oetomo untuk Hari ini dan Esok. Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jendral Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Nasution, Kasron. (2020). Historisitas dan Dinamika Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Al-Fikru: Jurnal Ilmiah, 14(2), 66-80.
Nasution, S. (1983). Sejarah Pendidikan Indonesia. Jemmars.
Riska & Hudaidah. (2021). Sistem Pendidikan di Indonesia pada Masa Portugis dan Belanda. Edukatif: Jurnal Ilmu Pendidikan, 3(3), 824-829. https://doi.org/10.31004/edukatif.v3i3.470
Saputra, Muhammad Adi. (2022). Pendidikan Masa Kolonial: Dari Tanam Paksa hingga Politik Etis. Krakatoa: Journal of History, History Education and Cultural Studies, 1(1), 34-43.
Sari, N.I, & Liana, C. (2019). Peranan Poetri Mardika Dalam Mendukung Pendidikan Perempuan Pribumi Jawa 1912-1918. Avatara e-Journal Pendidikan Sejarah, 6(3), 1-11.
Sultani, Z.I.M, & Kristanti, Y.P. (2020). Perkembangan dan Pelaksanaan Pendidikan Zaman Kolonial Belanda di Indonesia Abad 19-20. Jurnal Artefak, 7(2), 91-106.
Sumarno, Aji, R., & Hermawan, E. (2019). Ethical Politics and Educated Elites In Indonesian National Movement. Advances in Social Science, Education and Humanities Research, 383, 369-373. https://dx.doi.org/10.2991/icss-19.2019.170
Suratminto, Lilie. (2013). Ecuational Policy in The Colonial Era. Historia: International Journal of History Education, 16(1), 77-84.
Syaharuddin, & Susanto, H. (2019). Sejarah Pendidikan Indonesia (Era Pra Kolonialisme Nusantara sampai Reformasi). Universitas Lambung Mangkurat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun