[caption caption=""]Beberapa waktu yang lalu, saya menghadiri undangan seorang kerabat yang mendapatkan kesempatan untuk berangkat haji tahun ini. Acara yang diadakan selepas waktu zhuhur itu  dimaksudkan untuk memohon doa restu dari para hadirin agar sang tuan rumah calon haji memperoleh predikat haji mabrur, sekaligus sebagai acara pamitan untuk berangkat ke tanah suci. Ketika itu sang mentari mulai bergeser ke barat, namun sinarnya masih terasa cukup menyengat. Kendati demikian, para undangan terus mengalir berdatangan.
Sekelompok "penerbang" beraksi menyambut kedatangan para tamu. Dengan tetabuhan rebana yang cukup memikat, lagu-lagu shalawatan yang berisi puji-pujian pada Nabi dan ahlul baitnya mengalun tiada terputus. Bunyi dentuman rebana yang paling besar sangat terasa menggetarkan jantung. Terlebih lagi tempat duduk saya cukup dekat dengan salon besar  yang terletak di belakang saya. Setiap kali "penerbang" di depan memukul rebana yang paling besar, setiap itu pula jantung saya terasa bergetar.
Acara diawali dengan pembacaan ayat-ayat suci Al Qur'an. Kemudian sambutan-sambutan dari beberapa tokoh masyarakat dan alim ulama. Secara umum, acara berjalan dengan khidmat, namun karena pak kyai yang diundang di puncak acara mempunyai 'sense of humor' yang tinggi, acara juga berlangsung sangat meriah, ger-geran, penuh gelak tawa. Di samping itu, seiring dengan terus bergesernya matahari ke barat, hembusan hawa panas dari luar tenda yang di awal acara cukup terasa menyengat kini juga semakin sirna.
Di akhir acara, diwakili seorang ulama, sang tuan rumah calon haji menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada semua hadirin, terutama kepada tetangga terdekat. Dimohonkan kerelaan dan keikhlasan mereka semua untuk memaafkan segala kesalahan dan kekhilafan sang calon haji selama ini. Dengan demikian, diharapkan langkah sang calon haji di tanah suci akan menjadi ringan tanpa beban sehingga memudahkan dan melancarkannya untuk melaksanakan semua ritual dan prosesi haji guna memperoleh haji yang mabrur. Di titik ini suasana berubah mengharu-biru dan menyentuh hati. Beberapa pasang mata nampak berlinang-linang. Beberapa sanak kerabat nampak terisak-isak.
Setiba di rumah, di malam hari saat beristirahat dan menjelang terlelap dalam tidur, saya sedikit terhanyut mengingat tekad membaja dan niat ikhlas para calon jamaah haji yang memenuhi panggilan Tuhan ke Baitullah. Sungguh luar biasa dan amat menggetarkan. Â Terutama bagi mereka yang mengumpulkan harta sedikit demi sedikit demi memenuhi panggilan-Nya. Mungkin tidak demikian bagi para pejabat dan mereka yang bergelimang harta, namun bagi orang-orang pinggiran sekelas karyawan atau buruh pabrik, Â atau bahkan sekelas tukang bubur dan tukang becak, sungguh ini perjuangan pantang menyerah yang patut diapresiasi dan diteladani.Â
Sedemikian tulus dan "membaranya" kerinduan kaum muslimin pada dua kota suci yang diberkahi itu, sehingga sebagian calon jamaah malah berharap untuk bisa  "menetap" di tanah suci itu. Tanah dimana Nabi Agung Muhammad SAW dilahirkan dan dikuburkan, tanah yang di atasnya Rasulullah berjuang keras menyebarkan risalah suci untuk menyadarkan jiwa-jiwa yang terlelap dalam buaian dunia. Mereka berharap "dipanggil" Tuhan dalam keadaan mereka sedang memenuhi panggilan-Nya. Bagi mereka, mati dalam keadaan memenuhi panggilan Tuhan adalah mati syahid, mati yang diberkahi.
Namun apakah bisa dibenarkan niat untuk meninggal di tanah suci saat menunaikan ibadah haji? Hal inilah yang seringkali memantik perdebatan, pro dan kontra. Bagi saya pribadi, sesungguhnya niat tulus seorang hamba adalah mencari dan memperoleh keridhoan Tuhan. Untuk memperolehnya, tentu saja juga harus dilakukan dengan metode atau cara-cara yang diridhoi-Nya. Tujuan yang baik harus dicapai dengan cara yang baik.
Masalah niat adalah masalah manajemen hati. Tidur dan makan pun akan menjadi bernilai ibadah tinggi bila kita mengelola niat dengan cerdas. Sebelum tidur misalnya, niatkan bahwa tidur  adalah sarana beristirahat agar badan kita bisa tetap sehat dan kuat sehingga kita bisa menunaikan semua kewajiban ibadah kita, baik ibadah vertikal maupun ibadah horisontal. Atau sebelum makan, niatkan agar semua makanan yang kita makan diberkahi dan menjadi energi bagi kita untuk terus beraktifitas/beribadah agar mendapat ridho-Nya.
Begitu juga untuk ibadah haji, kita harus mengelolanya dengan benar, yaitu kita menunaikannya semata-mata untuk mencari keridhoan Allah SWT. Dan haji mabrur adalah predikat yang akan kita peroleh bila sejak awal niat sudah dikelola dengan benar. Bila nanti di tanah suci kita "dipanggil pulang" kepada Tuhan, itu merupakan suratan yang telah digariskan-Nya. Itu berarti Tuhan "memanggil" pulang hamba-Nya tatkala sang hamba sedang memenuhi panggilan-Nya.
Â
Labbaik Allahuma Labbaik ..