Mohon tunggu...
Anang Wicaksono
Anang Wicaksono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menjadikan menulis sebagai katarsis dan sebentuk kontemplasi dalam 'keheningan dan hingar bingar' kehidupan.

Mengagumi dan banyak terinspirasi dari Sang Pintu Ilmu Nabi. Meyakini sepenuhnya Islam sebagai rahmatan lil 'alamin, pembawa kedamaian dan kesejahteraan bagi semesta alam. Mencintai dan bertekad bulat mempertahankan NKRI sebagai bentuk negara yang disepakati para founding fathers kita demi melindungi dan mengayomi seluruh umat beragama dan semua golongan di tanah tumpah darah tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merangkul Kaum LGBT untuk Ber-'Idul Fitri'

3 Februari 2016   09:36 Diperbarui: 3 Februari 2016   16:31 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="Dokumentasi pribadi"][/caption]Idul Fitri 1437 H masih terentang sekitar 5 bulan lagi. Namun rasanya tidaklah salah bila kita mulai berjuang untuk menapaki hari yang fitri itu mulai sekarang. Lagi pula, bukankah kembali ke fitrah tidak selalu harus pada 1 Syawal? Bahkan sudah seharusnya, sebagai makhluk Tuhan yang bernama manusia, setiap saat kita harus sadar diri untuk senantiasa berikhtiar menemukan fitrah kita kembali.

Pengembaraan dan Cahaya Fitrah Manusia

Pada hakikatnya, setiap manusia adalah pengembara. Pengembaraan pertama kita adalah dari Tuhan menuju dunia kehidupan yang sedang kita lakoni saat ini. Karena bekal kesucian (fitrah) dari Tuhan yang diberikan kepada kita, bagaikan sebuah lintasan cahaya yang cemerlang, pengembaraan pertama kita berlangsung sangat mulus. 

Pada pengembaraan pertama, kita tidak diberi pilihan atau pun kebebasan. Tanpa kita kehendaki, tahu-tahu, kita sudah lahir di dunia ini. Menangis sebagai seorang bayi manusia yang lahir dengan membawa kesucian tanpa dosa. Disambut dengan suka cita dan rasa syukur oleh kedua orang tua, keluarga dan sanak kerabat.

Berbeda dengan pengembaraan pertama, pengembaraan kedua kita yakni kembali kepada Allah akan lebih rumit. Pada pengembaraan kedua inilah kita diuji oleh Allah. Kita diberi kebebasan untuk memilih. Jalan lurus yang diridhoi-Nya untuk kembali pada-Nya atau jalan sesat yang ditunjukkan iblis beserta seluruh punggawanya. Jalan yang diridhoi Allah akan terlihat terjal penuh rintangan. Sedangkan jalan yang ditunjukkan iblis terlihat begitu mudah dan mulus penuh gemerlap duniawi.

Kendati sudah membawa cahaya fitrah dari Tuhan untuk menerangi perjalanan pulang kita, namun seiring waktu, debu-debu jalanan dan berbagai kotoran duniawi berpotensi besar untuk meredupkan dan menutupi cahaya fitrah itu. Belum lagi berbagai halangan dan rintangan duniawi lain yang tidak boleh diremehkan, bahkan bisa saja memadamkan cahaya fitrah kita sehingga menyesatkan atau membelokkan perjalanan kita kembali kepada Tuhan.

Namun Allah Maha Pengasih. Dia Maha Pengasih dari yang paling pengasih. Kasih Sayang-Nya meliputi segala sesuatu. Dia tahu beratnya perjalanan manusia untuk kembali kepada-Nya. Selain bekal cahaya fitrah yang telah diberikan-Nya kepada manusia, Tuhan juga mempersenjatai manusia dengan dua senjata utama yang bisa diandalkan. Yaitu akal dan agama. Dengan kedua senjata inilah manusia diharapkan bisa menjaga kecemerlangan cahaya fitrah untuk menapaki perjalanan pulang kepada Allah.

Tentang fitrah itu sendiri, apa yang dimaksud dengannya? Sebenarnya kita sudah terbiasa dengan istilah "fitrah" setiap kali merayakan Idul Fitri. Idul Fitri adalah hari dimana -- diharapkan -- kita menemukan fitrah kita kembali sebagai manusia setelah sebulan ditempa dengan puasa Ramadhan untuk membersihkan segala debu dan noda duniawi yang mengotori dan  menutupi hati sehingga kita berhasil menjadi insan bertakwa yang dirahmati, mendapat ampunan dan dibebaskan dari api neraka.

Fitrah adalah kesucian (dasar) yang kita bawa saat kita datang ke dunia ini. Kesucian ini dibekalkan Allah kepada kita agar kita bisa kembali pada-Nya. Fitrah adalah obor penerang perjalanan pulang kita kepada Tuhan. Maka berhati-hatilah dan jagalah agar obor penerang ini jangan sampai redup atau bahkan padam dalam perjalanan.

Bertindak korupsi, mencuri dan mengambil yang bukan hak kita adalah perbuatan buruk yang mengotori kesucian manusia. Maka korupsi, mencuri dan sejenisnya adalah bukan fitrah manusia. Begitu pula berbuat khianat, dusta, menghasut, mengadu domba dan sebagainya adalah perbuatan tercela yang menodai kesucian manusia. Maka perbuatan-perbuatan tercela itu juga bukan fitrah manusia. Membunuh, berzina, berjudi dan minum minuman keras adalah perbuatan yang diharamkan Allah. Maka perbuatan-perbuatan dosa itu juga bukan fitrah manusia.

Pada skala yang lebih luas mengenai semua ciptaan-Nya, Tuhan juga telah menetapkan fitrah-Nya. Dalam kitab suci-Nya, Al Qur'an, berkali-kali Tuhan menegaskan bahwa pada dasarnya segala sesuatu diciptakan secara berpasang-pasangan (baca Ar Ra'd : 3, Az Zukhruf : 12, Adz Dzariyat : 49, An Najm : 45, An Naba: 8). Seperti siang-malam, panas-dingin, kutub magnet utara - kutub magnet selatan, jantan-betina, pria-wanita dan lain-lain. Itulah fitrah atau kodrat penciptaan. 

Begitu pula dalam orientasi seks, secara fitrah, semua makhluk hidup mempunyai kecenderungan pada lawan jenisnya. Seperti binatang jantan tertarik pada binatang betina dan begitu pula sebaliknya.  

Terkhusus pada manusia, Allah berfirman  dalam surah Ar Ruum, ayat 21 

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir."

Namun karena faktor-faktor tertentu yang masih menjadi perdebatan, ada sebagian manusia yang bergeser dari fitrah ini. Seperti lelaki menyukai lelaki, perempuan menyukai perempuan atau lelaki/ perempuan menyukai keduanya. Manusia seperti ini sering disebut sebagai kaum lesbian, gay, biseks dan transgender (LGBT)

Menjaga Cahaya Fitrah Manusia 

Sesuatu yang menyimpang dari fitrah manusia tentu saja sudah seharusnya untuk dikembalikan pada fitrahnya. Kereta api yang keluar dari jalur relnya sudah selayaknya untuk dikembalikan pada relnya agar bisa meneruskan perjalanannya menuju stasiun tujuannya. Ini merupakan bagian dari kewajiban kaum beriman untuk menegakkan amar ma'ruf nahi munkar; menganjurkan kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran.

Terkait dengan kaum LGBT, mereka perlu kita bantu untuk kembali mendapatkan 'rel' fitrahnya. Jangan kita biarkan 'kereta' LGBT itu tetap teronggok di luar 'rel' fitrah atau bahkan kita kecam dan cibir beramai-ramai. Mari kita bantu mereka dan jangan dikucilkan atau didiskriminasi.

Mantan Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, seperti dikutip  Republika.co.id, menawarkan dua solusi simultan untuk menangani kaum LGBT. Yakni prevensi (pencegahan) dan rehabilitasi.

Prevensi mutlak dilakukan untuk mencegah penyebaran paham LGBT agar keluarga kita tidak terkontaminasi atau terpapar pola pikir dan gaya hidup yang di luar fitrah manusia dan oleh karenanya jelas-jelas melanggar norma-norma agama dan sosial. 

Bagaimana cara pencegahannya? Memperkuat pondasi agama keluarga kita. Memberi penjelasan pada anak dan keluarga kita tentang penyimpangan fitrah kaum LGBT. Disamping itu kita harus melakukan gerakan melawan propaganda LGBT, baik dengan tulisan, dialog maupun diskusi-diskusi ilmiah.

Satu lagi, bersikap hati-hati dalam membeli produk tertentu yang dihasilkan oleh produsen yang terindikasi atau bahkan jelas-jelas mendukung LGBT. Kalau kita membeli produk mereka, secara tidak langsung kita mendukung dan membesarkan propaganda LGBT. Jadi jangan membeli produk dari produsen yang jelas-jelas mendukung LGBT.

Bagi sebagian kita yang sudah terkontaminasi, terjangkit atau bahkan sudah menjadi bagian dari komunitas LGBT, sudah selayaknya mereka mendapatkan rehabilitasi. Rehabilitasi bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan agama dan sosial serta cara-cara dialogis yang tidak merendahkan mereka seperti yang telah dilakukan saudara Agung Sugiarto (Sinyo) dari Magelang, Jawa Tengah.

Dalam perbincangannya dengan Republika.co.id, Sinyo menerangkan metodenya yang tidak secara langsung dan frontal meminta mereka untuk mengubah orientasi seksnya. Namun sarjana lulusan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini lebih memposisikan diri sebagai teman curhat yang memahami orientasi seks mereka. 

Sinyo hanya mengingatkan mereka untuk tetap menjalankan perintah Allah seperti sholat 5 waktu dan berdzikir. Secara bertahap, dia juga mengingatkan kewajiban yang lain seperti menikah dengan lawan jenis.

Walaupun pada awalnya sulit, namun kaum LGBT yang menjadi teman curhat Sinyo perlahan mulai paham dan akhirnya meninggalkan disorientasi seksualnya tersebut. Metode humanis yang dikembangkan Sinyo patut untuk didukung dan terus dikembangkan. 

Semoga semakin banyak Sinyo-Sinyo lain yang bermunculan untuk menyadarkan kaum LGBT agar kembali kepada fitrahnya.  Sinyo telah berhasil merangkul kaum LGBT untuk ber-'idul fitri.' Selamat ber-'idul fitri'. Selamat meraih fitrah kita kembali.

Tautan : Republika.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun