Â
Kendati duo F pimpinan DPR (Fadli-Fahri) telah berusaha mati-matian mengerahkan semua jurus silat lidah andalan mereka untuk membentengi Setya Novanto (SN), namun retorika mereka akhirnya kandas terlibas suara publik. Desakan publik yang sangat kuat akhirnya mampu membawa kasus pencatutan nama Presiden Jokowi dan Wapres JK oleh Ketua DPR SN terkait isu perpanjangan kontrak karya Freeport tetap bergulir ke persidangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI.Â
Setelah diperdaya Setnov-Fadli Zon pada skandal Donald Trump beberapa bulan yang lalu dengan sidang tertutup MKD yang berbuah hukuman yang teramat ringan bagi keduanya, agaknya sekarang publik tak mau kecolongan lagi seperti dulu. Berkat kuatnya suara publik, kasus yang terkenal dengan istilah "Papa Minta Saham" ini kemarin mulai disidangkan di MKD secara terbuka.Â
Dengan sidang terbuka, publik akan bisa leluasa mengawasi dan mengawal jalannya sidang MKD. Dengan demikian, semua kemungkinan manuver dan upaya kongkalikong anggota MKD untuk menyelamatkan Setnov seperti pada skandal Donald Trump dulu bisa diminimalisir. Atau bila upaya itu tetap ada, publik bisa menilai siapa pihak-pihak yang melakukan hal itu dan kemudian 'menjewer'nya. Sedangkan 'hukuman politik' dari publik bisa dijatuhkan kelak pada pemilu 2019 dengan tidak memilih mereka dan partai mereka.
Bobot kasus "Papa Minta Saham" memang lebih berat dari pelanggaran kode etik pertama yang dilakukan SN. Setidaknya, menurut saya, ada dua pelanggaran serius yang dilakukan politisi Partai Golkar ini. Pertama adalah pelanggaran kode etik berupa penyalahgunaan wewenang sebagai seorang Ketua DPR RI. Dan yang kedua adalah bersama Riza Chalid -- dalam bentuk permufakatan jahat -- melakukan pencatutan nama presiden dan wapres untuk kepentingan pribadi dan golongan yang bisa dikategorikan pelanggaran hukum pidana.
Sidang pertama MKD pada hari Rabu, 2 Desember 2015 yang lalu telah menghadirkan pihak pengadu, yakni Sudirman Said selaku Menteri ESDM RI. Â Meskipun banyak pertanyaan anggota MKD yang keluar dari konteks permasalahan, Sudirman menjawab semuanya dengan tenang. Untuk menguatkan pengaduannya, Menteri ESDM membawa transkrip rekaman dan bukti rekaman percakapan yang lalu diputar di sidang.
Pada sidang yang kedua MKD, Kamis 3 Desember 2015, giliran Ma'roef Syamsudin (MS) selaku Presdir Freeport Indonesia sekaligus perekam pembicaraan dihadirkan sebagai saksi. Tak jauh berbeda dengan persidangan pertama, pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan masih banyak bermunculan dari anggota MKD. MS pun cukup tenang menjawab berbagai pertanyaan yang mengalir dari MKD.
Meskipun sidang berlangsung terbuka di bawah sorotan publik, ternyata MKD tetap gagal menunjukkan performa seperti yang diharapkan publik. Bisa dibilang mengecewakan. Bahkan kadang mereka sibuk menginterupsi dan berdebat sendiri persis perilaku mereka saat menjalani sidang-sidang komisi.
Dari kedua sidang yang telah berjalan, yang terlihat oleh publik paling parah adalah logika peradilan MKD yang terbalik. Pengadu dan saksi malah diperlakukan sebagai terdakwa dan dalam kasus ini dipandang telah menyerang DPR. Karena itulah tidak mengherankan bila publik dan para pakar menyuarakan kekecewaan mereka pada kualitas MKD yang kemungkinan -- bila nanti akhirnya mengeluarkan keputusan yang melukai keadilan publik -- malah berpotensi semakin memperburuk citra dan kehormatan DPR.
Walaupun MKD berakrobat sedemikian rupa, publik  tetap bisa melihat bahwa dua kesalahan SN yang disebutkan di atas semakin terungkap jelas. Tentu makin menarik menunggu sidang berikutnya yang dijadwalkan menghadirkan SN sebagai terlapor atau tersangka. Bagaimana para anggota MKD nanti akan memperlakukan sang ketua?  Apakah seperti sidang skandal Donald Trump yang hanya memberikan hukuman basa-basi yang pada esensinya adalah meloloskan sang ketua?
Atau andaikata nanti sidang MKD berjalan benar, bagaimana cara SN berkelit dari bukti-bukti yang sudah sedemikian jelas mengarah padanya? Atau mungkinkah SN mempunyai sepenggal kehormatan seorang ksatria yang berani mengakui kesalahannya dan meminta maaf pada seluruh rakyat Indonesia yang amanahnya telah ia khianati?
Mungkinkah SN akan memainkan lakon -- tanpa mencatut lagi -- sebagai sang papa yang meminta maaf pada publik atas kesalahannya ini? Dan karena memandang besar kesalahan yang telah diperbuatnya maka sang papa akan meminta ampun dan dengan jantan mundur dari kursi ketua DPR? Menarik untuk ditunggu.
Sumber Gambar: Tribunnews.comÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H