Berkat bantuan serangan-serangan jet tempur Rusia sejak 30 September yang lalu, kemenangan aliansi Suriah-Iran-Hizbullah-Rusia terhadap teroris pemberontak Suriah -- ISIS, Front Al Nusra, Ahrar Al Sham, Jeish Al Fath dll -- sebenarnya sudah di depan mata. Sebagian besar daerah yang sebelumnya sempat dikuasai para teroris pemberontak, satu per satu berhasil direbut kembali oleh kerja sama tentara Suriah dan pejuang Hizbullah. Hanya Aleppo dan kawasan Suriah utara yang belum sepenuhnya bisa dikontrol pemerintah Suriah.
Namun 'respon Barat' atas serangkaian serangan teroris ISIS di Paris 13 November lalu nampaknya berpotensi besar untuk membuyarkan kemenangan itu. Terlebih lagi setelah hasil investigasi atas jatuhnya metrojet Rusia di Sinai Mesir mengindikasikan akibat ledakan bom teroris di mesin pesawat, yang mungkin bisa menimbulkan 'respon lain Rusia'.
Dan benarlah, sepekan setelah serangan teroris ISIS di Paris, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) secara bulat telah mengadopsi 'respon Barat' dalam bentuk resolusi 'take all necessary measures'. Resolusi 2249 -- yang diajukan Prancis -- itu mendesak semua anggota PBB untuk ‘menempuh semua langkah yang diperlukan’ guna melawan ISIS.
Secara bulat? Ya. Rusia dan Cina yang selama ini selalu memveto setiap usulan resolusi untuk menyerang Suriah secara militer kali ini mendukung resolusi 'take all necessary measures'. Agaknya inilah 'respon lain Rusia' -- yang sangat saya sesalkan -- yang membuatnya mendukung resolusi yang diusulkan Prancis itu. Sedangkan dukungan Cina terhadap resolusi nampaknya timbul akibat kegeraman penduduk negeri itu setelah terjadinya pemenggalan warga Cina oleh ISIS beberapa bulan berselang.
Bercermin dari sejarah, pada penerapannya di lapangan, resolusi tipe 'take all necessary measures' amat sangat beresiko untuk disalahgunakan. Contoh terakhir adalah di Libya. Bagaimana resolusi seperti itu secara sepihak 'diterjemahkan' Barat dengan menjatuhkan -- secara sangat brutal -- pemimpin sah Libya, Muammar Qadaffi. Siapa bisa menjamin Barat tidak akan menerjemahkan resolusi 2249 di Suriah sebagaimana yang telah mereka lakukan di Libya?
Dari kejadian yang susul menyusul ini, bila dihubungkan satu sama lain, saya menengarai adanya 'rangkaian misterius' di dalamnya terkait dengan krisis Suriah, terutama setelah beraksinya angkatan udara Rusia membantu pemerintah Suriah.
Rangkaian kejadian adalah sebagai berikut :
(1) Dengan dukungan AU Rusia,aliansi  Suriah-Iran-Rusia memperoleh kemajuan besar untuk mengalahkan para teroris pemberontak.
(2) Terjadi serangkaian serangan teror ke Paris yang dilakukan oleh teroris ISIS -- yang sudah hampir kalah di Suriah. Beberapa analis mengatakan sebenarnya pihak intelijen Perancis sudah mencium rencana aksi ini, tapi melakukan 'pembiaran' untuk maksud poin ke-3 di bawah.
(3) Dengan memanfaatkan gelombang simpati  masyarakat dunia atas teror Paris, akhirnya Barat berhasil mengantongi resolusi DK PBB untuk secara langsung mengintervensi Suriah -- dengan dalih menumpas teroris ISIS tentunya.
Akhirnya, poin ke-3 itulah sebenarnya 'batu loncatan' -- yang legitimated -- bagi Amerika dan sekutunya dalam krisis Suriah. Di bawah legitimasi resolusi DK PBB, mereka merasa mempunyai 'hak' mengintervensi langsung Suriah agar secepatnya bisa menjatuhkan Presiden Bashar Al Assad. Melihat kekalahan demi kekalahan yang menimpa teroris binaan mereka di kancah pertempuran Suriah, mungkin Barat dan sekutunya sudah merasa gatal tangan untuk terjun langsung. Nah, resolusi 2249 inilah 'gerbang tol' mereka untuk menuju kesana.
Â
Artikel Terkait :
Mengapa Poros Amerika-Saudi Berambisi Jatuhkan Al AssadÂ
