Dalam konteks kekinian, negara utama pendukung perlawanan Palestina terhadap Israel di Timur Tengah hanya tersisa pada Suriah dan Iran. Ketika para penguasa monarki Arab sudah lama berbaik-baik dan berdamai dengan zionis Israel, rezim Suriah dibawah Bashar Al Assad tetap konsisten mendukung perlawanan rakyat Palestina menghadapi agresi Israel.Â
Presiden Suriah ini mengijinkan Hamas mendirikan kantor perwakilan di Damaskus untuk mengorganisir gerakan perlawanan Palestina. Al Assad juga berbaik hati menampung aktifis dan pengungsi Palestina akibat agresi zionis Israel. Bersama sekutunya, Iran, pemimpin Suriah itu juga mendukung gerilyawan Hizbullah Libanon yang konsisten melakukan perlawanan terhadap Israel.
Demikian pula Iran, semenjak meletusnya Revolusi Islam yang dimotori ulama karismatik Ayatullah Imam Khomeini yang mengubah bentuk negara menjadi Republik Islam pada tahun 1979, negara Persia itu selalu konsisten mendukung perjuangan rakyat Palestina melawan pendudukan zionis Israel. Konsistensi dukungan terhadap Palestina ini ditopang oleh kemandirian Iran secara ekonomi dan militer yang secara menakjubkan -- kendati berpuluh tahun ditekan Barat dengan embargo ekonominya -- dalam waktu relatif singkat mampu menjadikan dirinya sebagai salah satu kekuatan utama di Timur Tengah yang sangat disegani dan ditakuti Amerika-Israel.
Dalam kaca mata Amerika-Israel, dua kekuatan utama pendukung Palestina inilah yang cepat atau lambat harus dilumpuhkan. Namun menyadari kekuatan Iran yang nampaknya terlalu sulit atau beresiko tinggi untuk dikalahkan, Amerika-Israel membidik Suriah yang mereka nilai lebih lemah untuk terlebih dahulu ditaklukkan. Dengan menguasai Suriah, sewaktu-waktu Amerika-Israel akan dapat  menjadikan negara itu sebagai gerbang utama jalur penyerangan ke Iran.
Dengan pola sama seperti yang mereka lakukan di Libya, -- yakni mengorganisir, mendanai dan mempersenjatai pemberontak -- Amerika-Israel berharap proses kejatuhan Al Assad akan secepat proses kejatuhan Qaddafi. Namun ayah-anak ini kecele, Al Assad ternyata tidak selemah yang mereka duga. Selain loyalitas para tentara dan masih besarnya rakyat yang mendukungnya di Suriah, faktor utama kekuatan Bashar Al Assad adalah soliditas dukungan Iran dan Hizbullah.Â
Hizbullah sendiri dipandang Israel berpotensi besar menjadi batu sandungan bila suatu saat kelak negara Zionis itu terpaksa harus berhadap-hadapan dengan Iran. Karena itulah pada tahun 2006 silam, dengan penuh percaya diri Israel pernah mencoba untuk menghancurkan kelompok gerilyawan pendukung Palestina tersebut di Libanon selatan.Â
Namun alih-alih meraih kemenangan, agresi tentara zionis Israel ini malah terpukul mundur oleh gerilyawan Hizbullah dalam pertempuran 34 hari yang sangat bersejarah. Saat itu Israel benar-benar merasa dipermalukan. Kekuatan militer yang disebut-sebut sebagai salah satu yang terkuat di Timur Tengah ternyata mampu dipukul mundur dari Libanon selatan hanya oleh sekumpulan gerilyawan! Hizbullah membuktikan, kendati bukan kekuatan militer setingkat negara, mereka mampu mengimbangi bahkan memukul mundur kekuatan militer sebuah negara sekuat Israel.
Di kancah pertempuran Suriah terakhir, perhitungan Amerika cs juga semakin porak poranda dengan terjunnya kekuatan militer Rusia. Dengan gempuran jet-jet tempurnya, secara signifikan Rusia telah banyak menghancurkan kekuatan-kekuatan pemberontak. Keberanian Presiden Vladimir Putin -- yang mungkin di luar dugaan Amerika dan sekutunya -- untuk menerjunkan kekuatan militernya benar-benar telah mengacaukan skenario Amerika cs di Suriah.
Menilik dari potensi minyak Suriah yang jauh di bawah Irak atau Libya, bisa disimpulkan bahwa agenda utama Amerika-Israel di Suriah bukanlah karena faktor minyak melainkan lebih dominan karena faktor keamanan Israel. Rezim Bashar Al Assad adalah pendukung gerakan perlawanan Palestina yang dinilai amat membahayakan keamanan Israel, maka menurut Amerika-Israel, ia harus ditumbangkan!
Sebagai salah satu mata rantai pendukung Palestina, selama ini Bashar Al Assad dipandang sebagai ancaman serius bagi eksistensi Israel. Karena itulah dengan memanfaatkan momentum Arab Spring, Amerika-Israel bermaksud mengganti rezim Al Assad dengan rezim yang bersahabat atau setidaknya tidak memusuhi zionis Israel. Eksistensi Israel harus tetap diamankan, apapun dan bagaimanapun caranya, demikian doktrin yang telah terpatri dalam kebijakan Amerika-Israel.
( bersambung )