Dalam mengartikan feminisme, para feminis berbeda pendapat mengenai hal tersebut, hal  ini disebabkan feminisme tidak mengambil dasar konseptual dan teoritis dari rumusan teori tunggal, karena itu definisi feminisme selalu berubah-ubah sesuai dengan realita sosio-kultural yang melatar belakanginya, tingkat kesadaran, persepsi, serta tindakan yang dilakukan oleh feminis itu sendiri (Ilyas, 1998).
Affirmative Action sendiri merupakan sebuah kebijakan yang memberikan peluang atau perlakuan khusus kepada kelompok tertentu, termasuk di dalamnya kebijakan kuota di lembaga-lembaga negara dan publik: parlemen, pemerintahan, institusi pendidikan dan lapangan pekerjaan. Representasi politik perempuan dalam praktek affirmative action banyak menyebabkan hal tersebut tidak selalu terpenuhi, dan untuk menyiasati kebijakan ini diperlukan konstribusi tentang permasalahn kualitas perempuan, ketiadaan jaminan partisipasi aktif perempuan dalam memperjuangkan aspirasinya sangat dibutuhkan dan memaksimalkan kualitas kerja perempuan, faktor -- faktor sosial kultural yang menghambat ruang gerak politik mutlak dipinggirkan. Â Dari hal ini perempuan bisa mengisinya melalui aktif sebagai penggerak dilingkungannya lewat wadah organisasi kemasyarakatan atau lembaga swadaya yang bisa memperluas jaringan perempuan.
 Dengan adanya undang-undang yang menyertakan 30% keterwakilan perempuan merupakan potensi besar dan kesempatan perempuan untuk ikut turun tangan dalam parlemen. Semua itu akan menjadikan perempuan untuk bisa memperjuangkan gender terutama dalam masalah keperempuanan yang mana selalu diremehkan. Potensi kaum perempuan dalam parlemen akan mampu mengangkat berbagai isu perempuan dimana kepentingan perempuan dipercaya bisa diusung dan diperjuangkan oleh perempuan bukan laki-laki karena laki-laki cenderung hanya melihat isu perempuan sebelah mata yang tidak menganggap isu itu penting dan krusial. Jika kaum perempuan sudah masuk dalam kancah parlemen bukan permasalahan perempuan saja yang akan diusung tetapi semua permasalahan yang mana tetap menggunakan prespektif dan analisis feminisme.
Dilansir Dirga Ardiansa pada jurnal "Menghadirkan kepentingan perempuan dalam representasi politik di Indonesia" dapat kita lihat pada Program Legislasi Nasional ( Prolegnas ) yang mana disini sebagai sarana atau media bagi persoalan-persoalan tentang perempuan yang akan diselesaikan dan diupayakan. Dalam Prolegnas ini akan membahas tentang RUU seperti tentang pelecehan perempuan, perlindungan pekerja rumah tangga (PPRT) selain itu yang paling terpenting adalah tentang keadilan dan kesetaraan gender (Ardiansa, 2016).
Dilansir dari Tirto.id bukti dari kontribusi perempuan dalam parlemen bisa dilihat dari akomodir isu perempuan seperti rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual,. Â Dari permasalahan tersebut dibutuhkan rancangan undang-undang sebagai tonggak peerempuan dalam menghadapi persoalaan tentang kesetaraan dan keadilan gender. Dalam proses inilah perempuan dapat menyuarakan pendapatan terhadap proses pembuatan RUU, sehingga dapat dikatakan perempuan mempunyai bagian penting dalam mengusulan RUU yang mana perempuan sangat mengetahui betul bagaimana sebuah persoalan itu terjadi jika tejadi dalam diri sendiri. Dari UU inilah dapat dijadikan patokan daerah-daerah terhadap proses pembuatan kebijakan dan tidak bertentangan.
Perempuan mencoba merambah ranah politik sebagai bentuk konstribusi di ruang publik saat pencalonan diri sebagai legislatif, hal ini menjadi menarik untuk membuktikan bahwa perempuan pantas masuk ke perpolitikan. Akan tetapi representasi perempuan yang rendah dapat mempengaruhi sebuah kebijakan dan alokasi anggaran bagi kepentingan perempuan.Â
Komnas perempuan mencatat terdapat kebijakan diskriminatif dari daerah-daerah terhadap perempuan seperti cara berpakaian, pemisahan akses ruang publik antara laki-laki dan perempuan atas dasar moralitas, pembatasan jam keluar malam yang pengaturannya mengurangi hak perempuan dalam bergerak, dan pilihan pekerjaan dan perlindungan serta kepastian hukum. Ada beberapa factor penghambat yang memungkinkan perempuan tidak bisa mengembangkan dirinya dalam berbagai bidang terutama dalam politik. Yang pertama yaitu hambatan fisik dimana perempuan terbebani akan kodrat asli perempuan berupa mengandung, melahirkan dan menyusui. Hal ini membuat perempuan tidak bisa bergerak bebas dalam mengurusi keluarganya. Yang kedua, hambatan teologis.Â
Perempuan dipandang hanya sebagai pelayan suami karena menganggap perempuan hanya mempunyai tugas untuk mendampingi, mengurus dan menghibur segala keperluan suami. Ketiga, hambatan social budaya. Adanya perbandingan pandangan akan kaum perempuan sebagai makhluk yang lemah, mudah bergantung dan pasrah akan sebuah keadaan. Sementara kaum laki-laki dianggap sebagai makhluk yang kuat,cerdas dan mandiri. Perbandingan ini membuat masyarakat tidak begitu mementingkan akan bakat dari perempuan dalam sebuah bidang. Keempat, hambatan sikap pandang. Pandangan antara  tugas perempuan dan laki-laki yang mana perempuan selalu dianggap hanya pantas bertugas dirumah saja dan laki-laki yang pantas untuk melakukan pekerjaan luar rumah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H