Tadi malam pas buka WA  ada kabar mengenai terjadinya gempa di daerah Bantul Yogyakarta. Konon  juga getarannya terasa sampai daerah Malang Jawa Timur hingga Ciamis Jawa Barat. Di grup WA trah keluarga yang ada di daerah Wonosari mengisahkan, gempa terjadi pada saat nonton pawai di jalan. Saat terjadinya gempa membuat penonton maupun peserta pawai berlarian.
Kejadian tersebut mengingatkan saya pada gempa  Jogja yang terjadi pada 27 Mei 2006 silam. Pada waktu itu saya masih kuliah di salah satu kampus di pinggiran kota Jogja. Sekaligus saya menemani mbah yang tinggal di Bantuk bagian selatan dekat Pantai Parangtritis.
Pada waktu itu pagi hari tanggal 27 Mei, waktu belum menunjukkan jam 06.00 tiba-tiba terjadi gempa yang sangat keras. Pada waktu itu saya sedang merebus air untuk buat kopi. Sebuah rutinitas wajib sebelum memulai aktifitas.
Pada awalnya gempa berlangsung pelan, lama-kelamaan semakin besar goncangannya. Menyadari akan terjadinya bahaya, saya berteriak kepada adik yang kebetulan habis subuh tidur lagi. Langsung keluar rumah dan  menyaksikan gempa dahsyat tersebut. Di dalam tanah terdengar suara dentuman yang sangat keras. Bukan Cuma bumi yang bergetar. Seolah alam berputar, bangunan juga pohon berloncatan.
Gempa berlangsung tidak sampai semenit. Tetapi dampaknya luar biasa.
Begitu gempa mereda, terdengar teriakan dan tangisan minta tolong dari dusun sebelah yang juga terdapat pasar. Kebetulan pada waktu itu hari pasaran, jadi pasti banya orang di pasar tersebut. Beberapa menit kemudian raungan sirine ambulan terdengar.
Setelah menghabiskan segelas kopi, saya bersama teman berinisiatif untuk keliling untuk melihat seberapa parah kerusakan yang diakibatkan gempa. Yang ingin saya ketahui adalah Parangtritis karena  ada pihak yang membuat isu adanya tsunami.
Dalam pikiran saya tsunami terjadi bersamaan dengan terjadinya gempa. Lha ini kok ada yang bilang tsunami akan  terjadi  beberapa jam lagi?
Karena rasa penasaran langsung saja saya arahkan kuda besi ke  Jalan Parangtritis. Sepanjang jalan orang-orang bergerombol. Ada yang bawa tas serta perlengkapan tidur.
Di Jalan Parangtritis sendiri jalan begitu ramainya, dan semua menuju utara. Saya malah ke selatan. Aneh. Semata-mata untuk menjawab rasa penasaran yang katanya terjadi tsunami.
Sesampai di pantai tidak ada yang luar biasa. Hanya ada beberapa orang yang sibuk mengemasi barang dagangannya. Rumah makan, Â toko, penginapan yang biasanya ramai, hari itu tampak kosong. Botol-botol minuman yang biasanya tertata di meja berantakan akibat goncangan gempa. Pakaian yang tergantung di hanger dibiarkan begitu saja oleh pemiliknya. Semuanya lari menyelamatkan diri.
Saya yang membawa kamera harus kecewa karena penjual film yang biasanya banyak di sepanjang  pantai, tak satupun terlihat penjualnya. Sebetulnya ada etalase yang terbuka dan tidak  ada penjualnya. Kepikiran sih untuk mengambil  terus bila suasana kondusif mau kembali untuk bayar. Kemudian saya pikir bagaimana kalau tiba-tiba ditangkap massa dan kena pasal penjarahan. Wah bahaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H