Keesokan paginya ku terbangun. Seperti biasanya kususuri gerbong demi gerbong brharap ada makanan/barang penumpang tertinggal. Hari ini aku lebih beruntung. Kutemukan di salah satu gerbong, setengah roti sobek ukuran sedang dn seperapat botol air mineral. Tuhan berbaik hati padaku. Walau bukan presiden yang memberiku makan, aku bersyukur Tuhan masih sayang padaku.
Hari ini perutku lebih terisi. Sepertinya utangku pada perutku kemarin telah kulunasi. Kunikmati kebaikan Tuhan hari ini. Puas mengisi perut, ku berjalan susuri barisan gerbong-gerbong tua yang sudah pensiun. Aku di salah satu gerbong, sedang bapak tua yang mendapat nasi bungkus dari presiden itu dan keluarganya di gerbong selanjutnya.
Masih penasaran dengan kisah mereka kemarin. Aku pun lalu kembali mendekati mereka. Kucoba menguping untuk mendapatkan jawaban. Benarkah sang presiden memberikan nasi bungkus kepada bapak tua itu? Lalu apa hubungannya dengan BBM akan naik??
Dengan sabar kutunggu si bapak tua itu pulang. Lalu seperti hari-hari sebelumnya. Kudengar dialog dengan urutan yg sdh kuhapal.
“Bu, lapar... mau makan.”
“Iya nak, tunggu bapak pulang.”
Seperti sebelumnya pula, beberapa lama kemudian sang bapak tua pulang. Tentu saja membawa makanan untuk anaknya.
“Pak, lapar....”
“Iya nak, nih bapak bawa nasi bungkus lagi buat kamu. Ini dari presiden juga, nak.”
“Bapak ketemu pak presiden lagi?”
Sang bapak tua tak menjawab. Ia malah menjawab seperti tadi.
“Nasi ini dari presiden kita, nak.”
Lalu meminta anaknya makan.
“Sudah, makan dulu sana. Habiskan nasi dari pak presiden.”
Beberapa saat kemudian, sang ibu menarik bapak tua itu menjauh dari anaknya. Kemudian ia berbisik. Sayup kudengar dialog mereka, sementara si anak asik dengan makanannya.
“Bapak benar bertemu pak presiden? Benar bapak diberi nasi bungkus oleh presiden? Benar bapak.... Benar bapak....”
Rentetan pertanyaan berbisik itu meluncur deras dari mulut sang ibu. Seolah menumpahkan segudang rasa penasaran.
Hahahaha, ternyata rasa penasaranku tak kalah dengan sang ibu. Dalam hati kumerasa sebentar lagi penasaran itu 'kan terjawab.
Dengan tenang sang bapak memegang kedua pundak sang ibu.
“Bu, kita ini siapa? Presiden kita siapa? Kita tinggal di gerbong tua, beliau di istana. Dia tak mengenal kita bu, dia tak kenal bapak. Lagipula ibu percaya bahwa presiden memberi nasi bungkus kepada rakyat hina seperti kita??”
“Tapi pak.... Beberapa hari ini bapak bilang dapat nasi bungkus dari presiden.”
“Bu..., bapak sendiri takkan percaya seandainya hal itu benar.”
“Lalu pak.... Dari mana nasi bungkus itu?”