Sore menjelang munculnya mega merah diufuk barat, aku mengelana menyusuri pantai utara jawa dimana aku tinggal bersama orang-orang terkasihku dan orang-orang senasib denganku yang diciptakan Tuhan didesa kecil ujung barat laut Jawa Timur, ya desa Bancar, kecamatan Bancar, kabupaten Tuban.
Dalam pentadaburanku atas alam yang indah, megah ciptaan Tuhan, aku kembali menanyakan mengapa aku dilahirkan?, untuk apa aku hidup?, dan apa makna atau nilai intrinsik dari kehidupan?. Ya sebuah pertanyaan yang mendasari para penganut aliran filsafat nihilisme eksistensial dan pesimisme.
Sebuah aliran filsafat yang banyak dianut oleh mereka para kaum yang tidak mempercayai adanya Tuhan, ateisme. Jika menyebut nihilisme maka referensinya adalah seorang filusuf Jerman Nitzche.
Namun aku tegaskan, aku bukan termasuk golongan tersebut. Alasan mengapa aku sendiri kembali menanyakan hal tersebut, sungguh aku sama sekali tak mengetahuinya. aku pernah menanyakan hal tersebut dahulu kala, kepada guru dimana aku mendalami ilmu agama, dan aku telah mendapatkan jawabanya ketika itu.
Aku berpikir pertanyaan tersebut tidak layak untuk kutanyakan dengan latar belakangku adalah orang beagama dan mendalami ilmu agama sejak aku kecil. Bukan fasenya aku menanyakan pertanyaan itu, pikirku.
Ya tiba-tiba pertanyaan itu muncul dalam benakku kembali ketika aku menyaksikan seorang kakek tua yang sedang menebarkan jalanya ke tepian lautan untuk mencari ikan. Kakek tua yang ringkih yang menurut nalarku, kini adalah waktunya dia menikmati kehidupan dimasa senjanya dengan duduk manis dirumah bersama cucu-cucunya. Terlepas bagaimanapun latar belakang beliau.
Mengapa aku dilahirkan? Mengapa aku diciptakan?. Pertanyaan tersebut mencoba aku menjawabnya kembali seperti apa yang dikatakan oleh guruku kala itu bahwa manusia diciptakan adalah semata mata untuk menjadi hamba yang senantiasa menyembah dan beribadah kepada Tuhan, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku.”(QS Adz zariyat : 56)
Lantas konsep menyembah yang dikehendaki Tuhan seperti apa? Ini yang menjadi pertanyaan selanjutnya? Apakah menyembah yang dimaksud Tuhan sama seperti alegori yang dijelaskan para munfasir yang implementasinya seperti yang dilakukan para sufi dengan segala kezuhudanya kepada dunia? Pertanyaan itu yang dulu belum saya konfirmasikan kepada guruku.
Untuk apa aku hidup? Pertanyaan yang pernah kutanyakan kepada beliau juga. Lalu beliau menjawab dengan membacakan ayat dalam alquran yang artinya seagai berikut
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”(QS Al Baqarah :30)
Ya waktu itu beliau menjawab dengan gamblang bahwa manusia diciptakan dan hidup untuk menjadi khalifah di bumi. Terlepas dari makna khalifah di bumi itu seperti apa, namun yang menjadi pertanyaanku selanjutnya adalah rahasia apa dibalik pernyataan Tuhan “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Ya pernyataan Tuhan inilah yang menjadikan pertanyaan besar selanjutnya.