Mohon tunggu...
Ananda Saputri
Ananda Saputri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Saya mahasiswa Universitas Sriwijaya Jurusan Ilmu Hubungan Internasional. Hobi saya membaca Novel, saya juga suka musik, sport, travelling, food, and art.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Geopolitik Krisis Suriah di Timur Tengah

5 Desember 2024   15:50 Diperbarui: 7 Desember 2024   10:03 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ananda Saputri, Universitas Sriwijaya

Latar Belakang 

Krisis Suriah dimulai pada tahun 2011 sebagai bagian dari gelombang Arab Spring, yang dimana masyarakat Suriah melakukan protes karena ketidakpuasan terhadap pemerintahan otoriter Presiden Bashar al-Assad, yang telah berkuasa sejak tahun 2000 setelah menggantikan ayahnya, Hafez al-Assad. Protes anti-pemerintah pertama kali meletus di kota Daraa sebagai respons terhadap penangkapan dan penyiksaan terhadap 15 remaja yang menulis grafiti menentang rezim Bashar al-Assad. 

Tindakan keras pemerintah terhadap demonstran, seperti penembakan terhadap warga sipil, memicu kemarahan yang meluas dan menyebabkan protes yang lebih besar di seluruh negara (Musarurwa & Kaye, 2016).  Dalam waktu singkat, ketidakpuasan ini berkembang menjadi konflik bersenjata, dengan berbagai kelompok oposisi yang mulai bersatu untuk melawan pemerintah. Berbagai faktor berkontribusi terhadap krisis ini, termasuk rezim otoriter yang telah berkuasa selama lebih dari 40 tahun, di mana Partai Baath, yang dipimpin oleh keluarga Assad, mengekang kebebasan politik dan hak asasi manusia (Adigbuo dalam Musarurwa & Kaye, 2016). 

Respons pemerintah terhadap protes sangat keras, pasukan keamanan menggunakan kekuatan mematikan untuk membubarkan demonstrasi, yang menyebabkan kemarahan dan ketidakpuasan yang lebih besar di kalangan rakyat. Dengan berbagai kelompok oposisi yang muncul untuk melawan rezim Assad. Oposisi ini terdiri dari berbagai faksi, termasuk kelompok sekuler, Islamis, dan etnosektarian, yang masing-masing memiliki tujuan dan ideologi yang berbeda. Seiring berjalannya waktu, krisis ini menarik perhatian kekuatan regional dan global, yang mulai terlibat dalam konflik dengan cara yang berbeda. Iran, misalnya, menjadi salah satu sekutu utama Assad, sementara negara-negara seperti Arab Saudi, Turki, dan Amerika Serikat memberikan dukungan kepada kelompok oposisi. 

Selain itu, munculnya kelompok ekstremis seperti ISIS dan Front al-Nusra menambah kompleksitas konflik, dengan masing-masing berusaha untuk mengeksploitasi kekacauan yang ada untuk kepentingan mereka sendiri. Sejak 2011, konflik tersebut sejauh ini telah menewaskan 470.000 (Black, 2021). Jutaan lainnya mengungsi baik secara internal maupun ke negara-negara tetangga. Konflik ini tidak hanya berdampak pada Suriah, tetapi juga memiliki implikasi yang luas bagi stabilitas regional dan hubungan internasional, menciptakan ketegangan antara kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan Rusia yang terlibat dalam perang proksi di wilayah Suriah. 

Dimensi Geopolitik 

Geopolitik krisis Suriah sangat terkait dengan lokasi strategis negara tersebut, ciri-ciri demografis, dan kepentingan berbagai kekuatan regional dan global. Berikut ini adalah beberapa poin penting mengenai geopolitik krisis Suriah: 

1. Lokasi Strategis Suriah terletak di area kritis di Timur Tengah, berbatasan dengan beberapa negara dan dekat dengan wilayah-wilayah utama yang kaya akan energi. Lokasinya membuatnya menjadi pemain penting dalam politik regional dan dinamika energi, terutama terkait jaringan pipa gas yang dapat mengangkut gas dari Iran dan Qatar ke Eropa. 

2. Proyek-proyek Jalur Pipa yang Bersaing Konflik ini secara signifikan dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan yang bersaing dalam ekspor gas. Jalur pipa Iran-Irak-Suriah, yang bertujuan untuk mengangkut gas Iran ke Eropa, kontras dengan proposal Qatar untuk membangun jalur pipa melalui Arab Saudi, Yordania, Suriah, dan Turki. Penolakan terhadap pipa Qatar oleh Presiden Bashar al-Assad yang mendukung proyek Iran telah menjadi faktor penting dalam ketegangan geopolitik di sekitar krisis ini. 

3. Dinamika Perang Proksi Konflik Suriah sering dipandang sebagai perang proksi yang melibatkan kekuatan kekuatan regional. Sebuah koalisi Sunni, termasuk negara-negara Teluk dan Turki, menentang poros Syiah yang terdiri dari Iran, Hizbullah, dan rezim Assad. Persaingan ini telah memperburuk konflik, dengan berbagai aktor yang mendukung faksi-faksi yang berbeda di Suriah. 

4. Jaringan Aktor yang Kompleks Kehadiran berbagai pihak yang berperang, masing-masing dengan kepentingan dan keluhan historisnya sendiri, memperumit proses perdamaian. Keterlibatan kekuatan asing, termasuk AS dan Rusia, menambah lapisan kompleksitas konflik, karena kedua negara memiliki kepentingan strategis dalam hasil perang. 

Dampak 

Dampak krisis Suriah sangat luas dan merusak, tidak hanya bagi negara itu sendiri tetapi juga bagi kawasan Timur Tengah dan dunia secara keseluruhan. Secara sosial-politik, konflik ini telah menyebabkan kematian lebih dari 470.000 orang. Mengakibatkan juga jutaan orang mengungsi, pada tahun 2015 saja, sebanyak 1,2 juta orang terusir dari rumah mereka. Menurut UNHCR, jumlah total pengungsi di seluruh dunia mencapai 59,5 juta jiwa pada akhir tahun 2014, dengan peningkatan sebesar 40 persen sejak tahun 2011 dan di antara mereka, pengungsi Suriah menjadi kelompok pengungsi terbesar pada tahun 2014 (3,9 juta jiwa, 1,55 juta jiwa lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya), melampaui pengungsi Afghanistan (2,6 juta jiwa) yang sebelumnya merupakan kelompok pengungsi terbesar. Hal ini menciptakan salah satu krisis pengungsi terbesar sejak Perang Dunia Kedua (Karim & Islam, 2016). 

Situasi ini telah menimbulkan tantangan besar bagi negara-negara penerima, yang harus menghadapi tekanan pada sumber daya dan infrastruktur mereka. Dampak ekonomi krisis Suriah sangat besar, dengan kerugian yang hampir total pada kekayaan, infrastruktur, dan populasi. Perang dan sanksi global telah menyebabkan kontraksi berkelanjutan dalam PDB sejak 2012, dengan sektor perdagangan mengalami penurunan drastis sebesar 46,6% pada 2013. Harga konsumen melonjak 53% pada 2014, dan nilai Pound Suriah turun drastis. Sekitar 13,8 juta orang kehilangan sumber penghidupan, sementara standar kesehatan, pendidikan, dan pendapatan memburuk tajam, dengan kemiskinan meningkat 85% pada 2015. Ketika perang berakhir, rakyat Suriah akan menghadapi ekonomi yang hancur, mendorong mereka untuk mencari peluang di negara lain, yang memperburuk krisis migrasi global. (Karim & Islam, 2016). 

Krisis Suriah telah memperburuk ketegangan antara kekuatan global, terutama antara Amerika Serikat dan Rusia, yang terlibat dalam konflik dengan cara yang berbeda. Amerika Serikat cenderung mendukung kelompok oposisi dan menentang rezim Bashar al-Assad, sementara Rusia memberikan dukungan militer dan politik kepada pemerintah Suriah. Perbedaan pendekatan ini menciptakan ketegangan yang signifikan, dengan masing-masing negara berusaha untuk memperkuat pengaruhnya di kawasan tersebut. Krisis Suriah telah menciptakan ketidakstabilan yang signifikan di tingkat regional, yang memicu konflik sektarian dan memperburuk hubungan antara negara-negara di Timur Tengah, terutama antara Iran dan Arab Saudi. Iran, yang mendukung rezim Bashar al-Assad, berusaha untuk memperkuat pengaruhnya di Suriah dan mendukung kelompok-kelompok militan yang sejalan dengan kepentingannya. 

Di sisi lain, Arab Saudi mendukung kelompok kelompok oposisi yang berusaha menggulingkan Assad, yang dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas dan kepentingan mereka di kawasan tersebut. Ketegangan antara kedua negara ini tidak hanya memperburuk hubungan bilateral, tetapi juga menciptakan garis pemisah sektarian yang lebih dalam di seluruh kawasan. Hal ini dapat memicu konflik yang lebih luas, dengan negara-negara lain di Timur Tengah terlibat dalam persaingan kekuasaan yang lebih besar. Dengan demikian, krisis Suriah tidak hanya menjadi masalah domestik, tetapi juga merupakan tantangan besar bagi stabilitas dan keamanan global. Dampak yang ditimbulkan oleh konflik ini menciptakan gelombang ketidakpastian yang dapat mempengaruhi banyak aspek kehidupan internasional, dari migrasi hingga hubungan diplomatik.

Referensi

Black, I. (2021, August 31). Report on Syria conflict finds 11.5% of population killed or injured. The Guardian. https://www.theguardian.com/world/2016/feb/11/report-on-syria conflict-finds-115-of-population-killed-or-injured

Kinninmont, J., & House, L. (2014). The Syria conflict and the geopolitics of the region. IEMed Mediterranean Yearbook, 48-53.

Musarurwa, H. J., & Kaye, S. B. (2017). Unpacking the Syrian Crisis: A Literature Review. Information Management https://doi.org/10.22610/imbr.v8i6(I).1516

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun