Pemerintah pusat Indonesia telah berjuang keras untuk menghasilkan kebijakan yang cepat, koheren dan efektif untuk mengurangi krisis. Menyusul pengumuman kasus COVID-19 Indonesia pertama pada awal Maret 2020, pada tanggal 15 Maret, presiden mengeluarkan seruan untuk "bekerja, belajar dan berdoa" di rumah, tetapi tidak mengeluarkan perintah tinggal di rumah yang jelas dan mengikat secara nasional. Pada saat yang sama, Ia meminta kepada para pemimpin di daerah untuk tidak melakukan lockdown sendiri. Setelah beberapa kepala pemerintahan daerah mengabaikan perintah ini dan mendeklarasikan lockdown (antara lain di Papua), Jokowi menandatangani peraturan pada 31 Maret yang mengatur pembatasan mobilitas yang dikenai sanksi oleh pemerintah pusat. Namun, masing-masing dari 34 provinsi dan 540 kota dan kabupaten-kabupaten harus mengajukan permohonan kepada menteri kesehatan untuk persetujuan pembatasan tersebut.
Pelaksanaan berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Presiden dalam upaya penanganan Covid-19 tampaknya masih mengalami permasalahan, terutama disebabkan oleh birokrasi yang berbelit, lamban dalam merespons, dan ragu-ragu yang berakibat tidak efektifnya penanganan Covid-19, sehingga sulit untuk menekan angka positif. Adanya ego sektoral antarkementerian/lembaga dan daerah menjadi salah satu penyebab lambannya birokrasi dalam merespons penanganan Covid-19. Birokrasi yang berbelit tampak pada saat daerah hendak memberlakukan PSBB di daerahnya. Persetujuan PSBB dari Menkes dianggap pemerintah kabupaten/kota sebagai sebuah birokrasi yang berbelit karena dianggap terlalu jauh jarak antara pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah pusat. Demikian pula persyaratan dokumen yang menurut daerah cukup banyak dan sulit untuk dipenuhi pemerintah daerah, merupakan sebuah peristiwa birokrasi berbelit (BBC, 2020).
Beberapa daerah yang ditolak pengajuan pemberlakuan PSBB di daerahnya ada yang disebabkan karena dokumen yang kurang, misalnya data peningkatan kasus dan waktu kurva epidemiologi yang membutuhkan waktu dari pemerintah daerah untuk melakukan kajian. Beberapa daerah yang ditolak antara lain Kota Gorontalo, Kabupaten Rote Ndao, Kota Sorong, Kota Palangkaraya, dan Kabupaten Fak-Fak dengan alasan tidak memenuhi aspek epidemologi (Tempo, 2020).
Hal ini harusnya menempatkan pemerintah agar bersama-sama menyadari bahwa pandemi ini harus segera ditangani karena tidak lagi berbicara angka melainkan nyawa. Pada akhirnya, birokrasi yang berbelit, lamban dalam merespons, dan ragu-ragu telah berakibat pada efektivitas penanganan Covid-19. Kondisi ini berakibat pada sulitnya menekan angka positif Covid-19 di Indonesia, bahkan angka kematian akibat Covid-19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H